Tuesday, February 2, 2016

Keikhlasan dan cinta baru

-->
Kadang kita harus mengikhlaskan seseorang yang kita cintai. Bukan karena tak ingin lagi bersamanya, melainkan melihat dia lebih bahagia tanpa kita.
Seringkali kebersamaan melahirkan sebuah perasaan ingin memiliki yang tak kunjung ada habisnya. Orang yang kita sayangi itu bukan objek atau hewan peliharaan kita. Dia hanyalah seorang manusia biasa. Begitu pula dengan kita.
Saat kukatakan dia hanyalah seorang manusia biasa, itu berarti dia juga bisa melakukan kesalahan. Kita sudah melakukan kesalahan. Yaitu percaya pada dirinya. Padahal kita mungkin lupa, bahwa dia mungkin tak pernah berjanji untuk tidak akan pernah berdusta pada kita. Yang kita tahu cinta itu indah. Padahal cinta itu hanyalah kepada Allah.

Kejujuran itu mudah. Sayang tak semua orang mau melakukannya.
Kebohongan demi menjaga perasaan orang yang dicintai bukanlah berarti tidak berdosa. Jika kalian paham syariat agama, segala sesuatu yang melukai hati pasangan kita tidak dibenarkan. Di sinilah syarat dan ketentuan berlaku. Berlaku untuk siapa? Tentu untuk semua hal yang akan kita pertanggungjawabkan.

Memojokkan memang lebih enak daripada merasa terpojok. Belum selesai kebohongan itu terbuka, harga diri ingin berada di atas segalanya. Ingin melupakan semua keterbukaan hati atas segala kekurangan yang dimiliki. TIba-tiba merasa paling benar dan tak mau disalahkan. Tebing yang dulu terlihat kini tak lagi terlihat. Karena aku kini ada di tepinya. Selangkah lagi saja aku maju, aku akan jatuh terhempas ke jurang dalam yang tak berujung. Meninggalkan rasa cinta yang dulu sempat kupuja.

Jangan pernah berharap kata maaf dari orang yang tak pernah merasa berbuat salah. Bagai mengharap ayam menggonggong, hal yang tak mungkin. Kembali lagi pada dunia ini, di mana yang dibutuhkan hanyalah cinta kepada Allah. Bukan kepada salah satu ciptaanNya yang mungkin telah menyakiti hati. Dekati terus Allah. Biarlah Allah yang memelukmu, biarlah Allah yang mengusap air matamu, biarlah Allah yang menjawab semua pertanyaanmu, karena hanya Dial ah yang sungguh-sungguh mencintaimu tanpa kamu minta. Kau tak minta dilahirkan, Allah beri izin kau hadir dalam perut ibumu. Kau tak minta diberikan kemampuan berkedip, Allah lahirkan kau dengan sempurna. Bisa berkedip, bisa bernafas, bisa segalanya hingga seperti sekarang ini.

Sekarang jika kau habiskan waktumu menangisi apa yang sedang terjadi, atau menanyakan hal-hal yang belum terjadi, maka kau sungguh hanya buang-buang waktumu hidup di dunia. Lupakan siapa saja yang telah menggoreskan luka di hatimu, lupakan pertanyaan-pertanyaan yang kau harap temukan jawabannya. Karena kebersamaanmu dengan Allah, yang telah menciptakan kita dengan sempurna, semua luka akan terobati, semua pertanyaan akan terjawab. Dan semua keadaan menjadi yang terbaik atas kehendakNya.

Tuesday, September 22, 2015

Hidup Baru

Pernikahan adalah akad dari segala hal bernama kebaikan.

Entah sudah berapa kali aku menuliskan kalimat itu. Sebuah kalimat yang dulu, saat pertama kali kubaca, membawa aku pada harapan besar akan hadirnya seorang imam dalam hidupku.

Akhirnya tiba sudah hari itu.

Hari yang telah kunantikan sekian lama, akhirnya aku tiba juga melangkahkan kaki pada hari itu. Hari pernikahanku.

Bukan jalan yang mudah untuk ditempuh untuk mencapainya, namun tak ada hal tak mungkin jika kita hanya berpasrah akan semua usaha kita kepada Allah semata.

Setelah prosesi ijab kabul semua duniaku serasa berubah. Sempat masih berpikir tak percaya bahwa akhirnya telah menikah dalam beberapa hari ke depan. Perasaanku seakan membuncah tiap kali kuingat momen ijab kabul itu.

TIba-tiba aku melihat sesosok pria yang duduk di sebelahku pagi itu sebagai sosok yang berbeda. Sosok yang luar biasa. Beda dengan dia yang telah aku kenal sejak lama. Rasanya aku seperti jatuh cinta.

Ternyata inilah awal indahnya pacaran seusai pernikahan yang orang-orang maksudkan. Tepat sesusai prosesi ijab kabul, aku mendengar suamiku menoleh ke arahku seraya membisikkan "assalamualaikum, istri.". Belum sempat aku menoleh untuk menjawabnya, rasanya kebahagiaan lain bertubi-tubi menghampiri diriku. Aku hanya bisa tersenyum dan berucap alhamdulillah sesering mungkin.

Setelah aku merasakan jatuh cinta pada dirinya untuk pertama kali, akupun bisa merasakan kebaikan dalam dirinya. Tanpa hal-hal yang sering dirasakan oleh kebanyakan orang yang sudah terlebih dahulu pacaran. Perasaan seperti cemburu, digantungin, PHP, baper, galau dan lainnya tak kurasakan sama sekali. Aku hanya merasakan dia yang membalas cintaku dengan penuh kasih sayang, dia yang berkata sayang setiap hari, dia yang dengan sabar membimbingku, dia yang tak pernah memarahiku jika aku salah, dia yang selalu mengajakku untuk selalu lebih dekat pada sang pencipta. Dialah suamiku.

Alhamdulillah, perasaanku kini sungguh tak terkira. Sekarang hanya bagaimana aku bisa menjadi istri yang sholeha untuk imam terbaikku. Aku akan terus belajar untuk bahagia bersamanya. Karena aku telah menyadari betapa Allah telah memberikan aku hadiah terindah yang bisa aku terima untuk membimbingku menjalani hidup baruku. Terima kasih ya Allah. :')

I love you, suamiku.

Sunday, September 6, 2015

H-6


H-6

Menuju hari besar dalam hidupku.

Hari yang selalu ditunggu-tunggu, akhirnya datang juga menghampiri. Aku akan menikah dengan pria yang Allah kirimkan untukku. Tepat pada waktu-Nya. Jawaban atas segala doa-doaku yang selalu kupanjatkan dalam penantian akan jodoh. Semoga benar dialah jodohku di dunia dan di akhirat kelak.

Bersamanya aku akan meraih pintu surga, melalui pengabdianku menjadi seorang istri yang sholehah. Aamiin..

R. Namanya R. Orang yang hadirnya secara tiba-tiba dalam hidupku. Orang yang hadir saat aku tak butuh akan cinta dan muak akan kisah cinta. Seperti yang kupanjatkan dalam doa, bahwa aku memohon pada Allah untuk meredakan perasaanku untuk suatu hal bernama cinta. Ibarat handphone, aku minta Allah untuk menonaktifkannya. Dan sesaat setelah aku berdoa demikian (benar-benar sesaat) itulah kali pertama aku berkenalan dengannya.

Kalau diingat-ingat, ternyata sudah 2,5 tahun aku mengenalnya. 1 tahun terakhir kami isi dengan persiapan pernikahan kami. 1 tahun sebelumnya lagi adalah masa penjajakan kami sementara setengah bulan sebelumnya kami membuka diri akan sifat-sifat kami. Tak terasa.

Namun tak mudah, sungguh tak mudah. Memahami orang lain dengan segala hal yang ada pada dirinya sementara kita berharap dan terus berdoa apakah dia jodohku? Semoga dia jodohku.

Semua doa dan kebimbangan akan jodoh di awal pertemuan dengannya berubah menjadi satu konsep bagi kami. Yaitu kami ingin sama-sama berusaha memantaskan diri.

Kamu mau jodoh yang baik? Ya kamu harus menjadi baik.
Bagaimana bisa kamu merasa pantas untuk mendapatkan jodoh yang baik sementara kamu biasa-biasa saja atau bahkan buruk, sementara Allah itu maha adil.

Berlandaskan konsep itu kami sama-sama memantaskan diri. Bukan untuk dia dan bukan untuk aku. Tapi kami memantaskan diri untuk jodoh kami kelak. Jika kami sudah baik dan pantas mendapatkan jodoh yang baik, bukan tidak mungkin dengan doa dan harapan penuh pada Allah maka Allah membuat kami saling jatuh cinta. Jatuh cinta karena Allah pastinya.

Aku tidak mengatakan bahwa kami sudah sama-sama sangat baik, namun aku mengatakan bahwa pada akhirnya Allah memberi jalan pada kami yang bertekad memperbaiki karena Allah. Aku yakin semua terjadi atas seizin-Nya.

Yang harus dilakukan saat ini  adalah bersyukur. Bersyukur karena Allah telah memberikan jawaban atas segala doa selama ini. Bersyukur karena dengan kelebihan pasangan yang kita miliki, kita menyadari bahwa Allah begitu hebat menciptakan makhluk-Nya. Bersyukur juga dengan kekurangan yang dimiliki pasangan kita, karena dengan itu semua Allah menguji kesabaran kita. Semua akan ada hikmah-Nya, baik yang telah kita sadari saat ini maupun yang belum kita sadari nanti.

Semoga hari H kelak berjalan lancar. Aamiin… 

Ternyata rasanya deg-degan juga ya?? :D

Monday, June 15, 2015

Lamunanku

Hari demi hari. Rasanya semakin dekat dengan kematian.
Banyak fase dalam hidup ini yang belum aku lewati.
Menikah. Hamil. Melahirkan. Membesarkan buah hati. Patuh selamanya pada suami. Hingga kematian datang menjemput.
Kematian adalah satu hal yang pasti. Seberapa cerdik kau sembunyikan dirimu dari kematian, tetap saja ia akan datang menjemputmu bila telah habis waktumu. Semua hanya masalah nomor antrian saja.

Menikah.
Mungkin hal ini yang paling dekat dengan hidupku saat ini, secara pengetahuanku. Karena akupun tak tahu kapan kematian akan datang menjemputku. Bisa saja aku belum merasakan pernikahan saat ajal menghampiriku. Namun, tentunya aku selalu berdoa pada Allah agar aku diberikan kesempatan untuk bisa merasakannya dengan orang yang akan menjadi jodohku.

Menjelang pernikahan tentunya ada banyak sekali hal yang perlu dipersiapkan.
Materi. Pasti. Hal ini adalah hal nyata yang harus kami ke luarkan untuk mewujudkan pesta pernikahan kami.
Fisik. Kami juga menyadari betapa fisik sangat penting untuk kebahagiaan kami ke depannya. Sebisa mungkin menjaga kesehatan dan memohon pada Allah agar selalu dilindungi dari segala penyakit.
Mental. Tentunya sudah kami persiapkan dalam menghadapi pernikahan ini. Bukan hanya tentang komunikasi, kesabaran dan keikhlasan. Namun jauh di dalamnya ada hal yang tak bisa dilukiskan dalam pernikahan namun wajib sekali untuk dipahami. Terlebih lagi karena kita sudah diberikan nikmat iman dan Islam yang tiada tara dari Allah.

Artikel yang kubaca siang ini membawa aku pada lamunan indah atas kisahku dengan dirinya.


Komunikasi

Saat ini aku tengah menyadari betapa pentingnya kuliah komunikasi yang telah aku jalani 6 tahun yang lalu. Mungkin banyak orang yang menganggap bahwa kuliah komunikasi bukanlah hal yang penting. Toh semua orang "bisa ngomong". Oke, semua orang memang bisa berbicara. Tapi apakah semua orang mampu berbicara dengan baik dan benar? Terlebih lagi saat mereka menyampaikan maksud dan tujuan mereka.

Aku berbicara seperti ini bukan karena aku sudah level dewa dalam komunikasi. Aku juga masih terus belajar. Selepas dari kuliah, aku juga masih kerap kali salah berbicara bahkan sampai menimbulkan pertengkaran. Aku tiba-tiba teringat pentingnya semua komunikasi itu karena siang ini di saat aku tengah berbalas e-mail dengan seseorang di sebuah perusahaan ternama berlevel multinasional, aku menerima e-mail yang tidak enak.

Padahal dia hanya menulis "resend".

Tapi aku merasa itu bukanlah hal yang pantas. Sebaiknya ia mengingatkan kembali bahwa aku sudah melewatkan untuk membalas e-mail sebelumnya yang telah ia berikan. Bukan hanya dengan menulis "resend". Masalahnya selain menanyakan sesuatu hal, dia juga memintaku menyiapkan berbagai hal yang ia butuhkan. Kemudian dalam sekejap aku menyiapkan dokumen-dokumen yang ia butuhkan. HANYA SAJA aku lupa menjawab satu pertanyaannya.

Alih-alih membalas dengan terima kasih atas dokumennya terlebih dahulu, lalu mengingatkan bahwa saya belum menjawab pertanyaan yang dia butuhkan, dia malah langsung "resend".

Haha di sini saya marah. Sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi komunikasi yang jelas, saya tidak terima.

Ya sudahlah. Maaf ini benar-benar curhat dan menumpahkan kekesalan saya saja.
Ini aja ditulis di warnet. hehehe

Saturday, February 7, 2015

First Day of My Life


Hari ini aku merasa sangat bahagia. Ribuan kata yang biasanya ingin aku keluarkan tadi hilang entah ditelan apa. Rasanya tak bisa berkata apa-apa. Kata demi kata kudengar dari mulutnya. Saat ia duduk di seberang sana mengutarakan maksudnya. Bukan di hadapanku, melainkan di hadapan seluruh keluargaku. Aku tak berani menengadahkan pandanganku.

Seketika itu juga perasaanku bagai luruh. Namun bukan hilang begitu saja tak berbekas, melainkan meninggalkan bekas baru pada perasaanku. Sesuatu yang rasanya begitu indah dan pantas. Sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya akan begitu indahnya. Sungguh akupun tak tahu apa yang telah mengalir dalam diriku saat itu.

Bahkan aku tak berani menatap matanya. Padahal biasanya aku bisa berlama-lama menikmati indah wajah dan senyuman hangatnya. Saat itu aku merasa berdosa. Betapa tidak sopannya perlakuanku padanya selama ini. Aku teringat pernah suatu kali dia berkata, “Ngapain sih ngeliatin gitu? Gak sopan tau!” ternyata inilah yang ia maksud. Aku langsung merasa malu dan tak berani mengangkat wajahku.

Seharusnya dari dulu aku lebih mampu menjaga pandanganku. Aku harus mampu mengendalikan hasratku. Dia yang telah datang dalam hidupku tak semata-mata dengan tangan kosong. Namun, Allah telah memutuskan kehadirannya dalam hidupku untuk membawa suatu kebaikan.

Betapa aku sangat menyadari bahwa dia telah datang menawarkan kebaikan padaku dengan segala caranya sendiri. Entah ada yang aku lewatkan, aku abaikan atau aku sadari. Dalam sekejap hari ini aku makin menyadari bahwa apa yang dia katakan dari dulu adalah apa yang dia harapkan bagiku.

Aku hanya bisa tertunduk penuh syukur. Terima kasih ya Allah. Atas izinMu, semua hal baik ini terjadi. Dia mengkhitbahku. 

Monday, October 6, 2014

Perhatikan, Rani!

"You don't know what it's like..."

"I know how does it feel.."

"NO.. absolutely not. You are not me."


Ya. Tak ada seorang lainpun yang bisa merasakan apa yang kita rasakan. Terlebih sebuah kesedihan. 
Apa aku sedang bersedih? Bisa dikatakan ya, bisa juga tidak. Ya, karena memang menyedihkan. Tidak, karena aku sudah mengikhlaskannya.

Aku punya sahabat. Dulu. Aku tak mudah mengatakan seseorang sebagai "sahabat". Karena bagiku sahabat bukanlah seseorang yang sering bersama kita, menghabiskan waktu dengan kita, nyambung kalau ngobrol, asik diajak main. Sahabat itu lebih menjadi seseorang yang bahkan kadang lebih mengenal diri kita daripada diri kita sendiri, lebih bisa mengerti diri kita dibanding ego kita sendiri, tahu tidak hanya apa yang kita mau, tapi apa yang kita butuhkan, seseorang yang tidak hanya memuji keberhasilan kita, tapi juga menampar kita saat kita bodoh. Seseorang yang tak berniat sama sekali mengubah kita menjadi orang lain, tapi selalu mendukung kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tak perlu dibayar dengan apapun, karena kebersamaan kita merupakan sesuatu yang sangat berharga.

Aku punya satu orang sahabat. Namanya Rani Sofiani. Panggilannya Rani. Rumahnya di Ragunan. Aku pernah sayang sekali dengan dia. Kebersamaan kami sudah 20 tahun. Apa rasanya? Sulit sekali dijelaskan dengan kata-kata.

Kira-kira apa saja yang sudah terjadi selama 20 tahun? Sungguh begitu banyak.

Perkenalan kami saat kelas 1 SD merupakan perkenalan yang tidak disengaja. Kami sedang bermain petak umpet dengan beberapa anak baru lain yang kamipun tak saling mengenal. Tak sengaja aku bertemu dia saat bersembunyi di masjid sekolah. Di situ lah kami saling mengenalkan diri. Setelah kembali ke kelaspun kami menyadari bahwa sedari pagi tadi kami sudah duduk di meja yang berdekatan.

6 tahun di SD dia selalu menjadi teman baikku.

Kini kami telah melanjutkan sekolah di SMP yang sama. Namun tak lagi sekelas. Untuk memudahkan bertukar cerita atas yang kami alami selama SMP itu kami menciptakan sebuah buku curhat. Khusus hanya untuk kami berdua dan hanya kami yang boleh membacanya. Kami menyebutnya BuCur (Buku Curhat). Buku itu selalu berpindah tangan kami secara bergantian setiap hari. Oleh sebab itu, setiap di rumah pulang sekolah kami saling mengetahui kabar kami hari itu dan akan kami tulis kembali feedback sebagai masukan atau saran atas masalah dan kejadian yang dihadapi hari itu. Hal itu kami lakukan karena tak mungkin rasanya kami saling ketemuan di sekolah, sementara beda kelas beda tugas beda kesibukan. Kemudian tak mungkin juga telponan di rumah berlama-lama. Bisa mahal bayar teleponnya.. hehe. 

Semua ceritaku dia mengetahuinya. Semua metamorfosaku ada dia di dalamnya. Dia benar-benar teman terbaikku. Banyak kisah yang dituangkan dalam buku itu. Misalnya naksir senior, dilabrak kakak kelas gara2 disukai cowok ganteng di sekolah, ekskul drum band yang menyenangkan tapi menguras waktu sekali, guru2 yang baik dan jahat, kisah keluarga di rumah, ah terlalu banyak! Hingga kami lulus SMP sekitar 30 BuCur sudah kami tulis. Bahkan selain itu kami membuat buku cerpen di mana kami bisa menuliskan cerpen mengenai imajinasi kami akan sesuatu. Luar biasa memang, kami suka menulis dan saling menanggapi dengan tulus. Tau ga? semua cerita imajinasi yang kami tulis dulu kini sudah jadi banyak cerita FTV loh. Keren kan imajinasi kami kala itu??

3 tahun di SMP dia masih menjadi teman terbaikku. Walau mulai banyak juga teman2 baik lain di antara kami.

SMA kami berbeda. Kami berpisah. Sedih rasanya. Namun ini memang kesalahanku karena nilai akhirku yang tidak mencukupi untuk memasuki SMA favorit itu. Akhirnya aku masuk ke SMA favorit di bawahnya. Ingin sekali melanjutkan BuCur, namun sulit karena kami menjadi sangat jarang bertemu. Untungnya saat itu sudah ada HP, jadi kami bisa berkomunikasi melalui SMS atau sesekali menelpon. Itupun kalau lagi kebanyakan pulsa. Kami masih berteman baik. Masih sering jalan bareng ke mall untuk nonton. Masih sangat tahu kisah hidup kami. Bahkan bisa jadi, dengan saling bercerita saja kami jadi saling mengenal siapa teman2 lainnya di SMA tersebut, padahal ga pernah ketemu. 

Masa-masa terbaik dan terburuk mungkin ada di SMA. Kesibukan sekolah sudah merajalela. Kesibukan soal percintaan sudah mulai mengisahkan hidup kami. Dengan siapa kami pacaran, kami saling mengetahui dan memberi masukkan. Tak ayal kami tetap ngeyel dikasih tau, tapi tetap saja dibantu saat salah satu dari kami ada kesulitan.

3 tahun di SMA kami memutuskan bersahabat selamanya. Bestfriend til the end of time.

Memasuki dunia kuliah. Dia mati2an ngejar UI. Aku mati2an ngejar  ITB. Tak ada yang diterima. Saat aku sedang ujian ITB, dia menelepon dan berkata bahwa ayahnya telah meniggal dunia. Saat itu aku merasa bersalah karena tak bisa menemaninya saat dia terpuruk dalam kesedihan. Sementara aku tetap memilih berada di Bandung. 

Tapi bukan berarti karena hal itu kami bertengkar. Kami masih jadi sahabat. Dialah yang sangat mengetahui bagaimana sifat asliku. Dia sangat mengenalku lebih dari diriku sendiri.

Akhirnya dia kuliah di D3 FE UI. Aku nganggur. Karena orang tuaku ingin sekali aku masuk UI. Harus S1. Tidak boleh mengambil universitas swasta. Tidak boleh D3. Ya, orang tuaku memang UI minded. Jujur saja ITB itu aku kejar seorang diri tanpa dukungan orang tua. Kemudian aku menjadi merasa tertekan. Melihat teman-teman seangkatanku sudah mencicipi indahnya bangku kuliah sementara aku masih saja pergi ke bimbel untuk belajar matematika atau sejarah. Sigh. Tapi dia selalu mendukungku. Dia selalu ada disaat aku butuh. Aku masih dirindukan. 

Akhirnya karena menjalani semua pelajaran itu setengah hati, aku tak lolos lagi masuk S1 UI. Aku sangat kalut saat itu. Merasa semua orang memaksaku untuk menjalani sesuatu yang tak kusuka. Aku harus masuk FE karena semua kakakku adalah Sarjana Ekonomi. Sementara aku minat sekali di bidang seni. Aku ingin belajar Design. Tapi tak direstui. Akhirnya aku dipaksa mengambil D3 juga. Di bidang komunikasi. 2 hal yang membuatku gila. Yang pertama adalah aku sudah membuang waktuku setahun dan kini aku mengambil D3, kenapa tak bareng dengan teman2 seangkatanku saja?? kemudian hal kedua adalah bidang komunikasi. Aku ini pemalu dan tak bisa menghadapi orang banyak apalagi harus berbicara depan orang banyak. I was crying in my first class. Tapi Rani selalu mendukungku. Aku terus berusaha. Sampai akhirnya nilai Public Speaking ku A sempurna aku yakin mampu menaklukkan bidang komunikasi ini.

Aku mencari pelarian kesenangan aku. Yaitu musik. Aku ikut Marching Band. Aku jadi gila karenanya. Dunia ini mencuci otakku. Aku menemukan orang-orang yang lebih asik dari bersama Rani. Orang-orang yang jago main musik. Aku dibuat menjadi gila karena musik. Kuhabiskan banyak waktuku di sana. Kebersamaan yang ketergantungan, begitu aku mendeskripsikannya sekarang. Aku jadi jarang bertemu dengan Rani. Karena itu mungkin dia marah padaku. Baru sekali itu dia tak mendukung apa yang kulakukan. Dia tak pernah sekalipun menonton aku bermain marching band. Aku tahu dia marah padaku. Ditambah lagi saat dia wisuda, aku tak menghadirinya. Karena apa? Karena aku sedang latihan Marching Band. Walaupun kini aku sangat menyesalinya, aku tak bisa memperbaikinya. Walau kini aku tak ikut Marching Band lagi, aku tak bisa memutar kembali waktu. Aku salah. Aku merasa sangat bersalah.

Aku marah padanya seingatku baru sekali. Soal kisah cintaku.
"Ran, gw nyesel deh putus sama ***** dulu. Lo ga mau bantuin gw balikan lagi? Kayanya cuma dia yang bisa cocok sama gw."

"Enggak lah. Asal tahu aja ya Mal, dulu abis kalian putus dia juga nyeselll banget dan ngerasa bersalah karena udah mutusin lo. Sampe pingin ngajak balikan lagi. Tapi gw bilang aja ga usah, Amalianya udah suka sama cowo lain. Hehee.."

Itu kejadiannya udah 6 tahun setelah putus. Gila, itu aja yang gw marah banget. Tapi yang gw sadari sekarang adalah hal itu bukan apa-apa dibanding keegoisan gw ninggalin dia demi Marching Band. Gw emang jahat sama lo Ran.

Walau akhirnya kita masih sesekali ketemu, kita masih bisa nyebutnya sebagai Quality Time. Janji namatin ketujuh film Harry Potter di bioskop pun punah karena dalam perjalannya kita punya teman-teman baik lain. But, it's fine. Kita tetap sahabat. Begitu kata Rani.

Kini aku dan Rani sudah sibuk dengan dunia kerja. Terakhir kudengar cerita baik darinya adalah dia berpacaran lagi dengan mantannya waktu SMA. Aku sangat bahagia... Sungguh bahagia. Melihat dia ngepost di social media soal pria itu, bagaimana pria itu membahagiakannya. 

Akhirnya Allah membalasku. Aku sulit bertemu Rani. Setiap weekend dia selalu jalan dengan pacarnya dan keluarga pacarnya. Setiap weekdays dia tak bisa dihubungi karena sibuk kerja. Saat aku ingin curhat dengannya dia selalu mengatakan sedang sibuk sekali, tak ada waktu. Saat aku mulai menangis, dia bilang aku jangan cengeng dan harus jadi dewasa. Padahal aku menangis bukan karena merengek seperti anak kecil, tapi aku merindukan pengertian dan kebersamaan dengannya. Saat aku bilang padanya bahwa dia kini terlalu banyak menghabiskan waktu dengan pacarnya, dia berkata:

"Mal, dulu yang lo lakuin pas MB apa? Emang lo punya waktu buat gw? Enggak pernah kan. Sekarang gw baru pacaran berapa bulan lo udah ngomong kaya gini? Gw juga berhak bahagia kali. Kita temenan udah belasan tahun. Boleh dong gw punya kehidupan baru."

Kali itu aku benar-benar menangis. Bahkan menangis lagi ketika mengetik kalimat barusan. Aku memang jahat. Menyisakan dendam yang teramat dalam pada dirinya.

Akhirnya dia mulai menghilang dari hidupku. Tak kontak beberapa bulan. Ulang tahun hanya mengucapkan "Selamat ulang tahun Mal!". Tak ada lagi telepon berdering. Tak ada lagi kabar bahagia yang dia beritahukan padaku sebagai orang pertama, tak ada lagi kabar sedih yang dia ungkapkan, kemudian dia tak hadir untuk silaturahmi saat lebaran, dan di reuni SD dia bahkan mengolok2ku depan teman lainnya dan tidak menggubris kehadiranku. She has no respect of me anymore....

Aku sedih. Ya, aku sedih. ini memang salahku sendiri. Aku terjerumus dalam dunia yang telah merusakku. Merubahku jadi orang yang jahat pada orang yang sangat sayang padaku. Begitupun keluargaku. 

Kesedihanku masih suka terasa saat aku sedang merasa sangat bahagia, tapi tak ada Rani yang bisa aku ceritakan seperti masa-masa dulu. Saat aku memberitahukan segala hal pada dirinya. Saat dia selalu jadi orang pertama yang mengetahui apapun. Begitu juga denganku. Bayangan masa kecil kami yang sedang tertawa bersama saat SD, SMP dan SMA terus berputar dalam kepalaku. Dan sekali lagi, air mata ini mengalir....

Banyak sekali hikmah yang kuambil dari kejadian ini. Yang jelas, walaupun aku pernah se salah itu, tapi aku punya hak untuk memperbaikinya. Kini aku sudah hidup jauh lebih baik tanpa hadirnya. Walau kadang kumerindunya, aku hanya bisa mendoakannya. Aku sudah mengikhlaskan kepergiannya. Semua hikmah yang kudapat, sudah aku bungkus dalam satu tekad kuat untuk bertobat di jalan Allah. Kini aku selalu bersyukur dan mendoakannya, saat kulihat senyum di foto yang dia post. Foto dirinya, foto dia dan calon suaminya, foto dia dan keluarganya, foto dia dengan sahabat barunya. :)

Dia pernah menjadi sahabat terbaikku. Rani. 

Terima kasih, Ran.