Monday, October 6, 2014

Perhatikan, Rani!

"You don't know what it's like..."

"I know how does it feel.."

"NO.. absolutely not. You are not me."


Ya. Tak ada seorang lainpun yang bisa merasakan apa yang kita rasakan. Terlebih sebuah kesedihan. 
Apa aku sedang bersedih? Bisa dikatakan ya, bisa juga tidak. Ya, karena memang menyedihkan. Tidak, karena aku sudah mengikhlaskannya.

Aku punya sahabat. Dulu. Aku tak mudah mengatakan seseorang sebagai "sahabat". Karena bagiku sahabat bukanlah seseorang yang sering bersama kita, menghabiskan waktu dengan kita, nyambung kalau ngobrol, asik diajak main. Sahabat itu lebih menjadi seseorang yang bahkan kadang lebih mengenal diri kita daripada diri kita sendiri, lebih bisa mengerti diri kita dibanding ego kita sendiri, tahu tidak hanya apa yang kita mau, tapi apa yang kita butuhkan, seseorang yang tidak hanya memuji keberhasilan kita, tapi juga menampar kita saat kita bodoh. Seseorang yang tak berniat sama sekali mengubah kita menjadi orang lain, tapi selalu mendukung kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tak perlu dibayar dengan apapun, karena kebersamaan kita merupakan sesuatu yang sangat berharga.

Aku punya satu orang sahabat. Namanya Rani Sofiani. Panggilannya Rani. Rumahnya di Ragunan. Aku pernah sayang sekali dengan dia. Kebersamaan kami sudah 20 tahun. Apa rasanya? Sulit sekali dijelaskan dengan kata-kata.

Kira-kira apa saja yang sudah terjadi selama 20 tahun? Sungguh begitu banyak.

Perkenalan kami saat kelas 1 SD merupakan perkenalan yang tidak disengaja. Kami sedang bermain petak umpet dengan beberapa anak baru lain yang kamipun tak saling mengenal. Tak sengaja aku bertemu dia saat bersembunyi di masjid sekolah. Di situ lah kami saling mengenalkan diri. Setelah kembali ke kelaspun kami menyadari bahwa sedari pagi tadi kami sudah duduk di meja yang berdekatan.

6 tahun di SD dia selalu menjadi teman baikku.

Kini kami telah melanjutkan sekolah di SMP yang sama. Namun tak lagi sekelas. Untuk memudahkan bertukar cerita atas yang kami alami selama SMP itu kami menciptakan sebuah buku curhat. Khusus hanya untuk kami berdua dan hanya kami yang boleh membacanya. Kami menyebutnya BuCur (Buku Curhat). Buku itu selalu berpindah tangan kami secara bergantian setiap hari. Oleh sebab itu, setiap di rumah pulang sekolah kami saling mengetahui kabar kami hari itu dan akan kami tulis kembali feedback sebagai masukan atau saran atas masalah dan kejadian yang dihadapi hari itu. Hal itu kami lakukan karena tak mungkin rasanya kami saling ketemuan di sekolah, sementara beda kelas beda tugas beda kesibukan. Kemudian tak mungkin juga telponan di rumah berlama-lama. Bisa mahal bayar teleponnya.. hehe. 

Semua ceritaku dia mengetahuinya. Semua metamorfosaku ada dia di dalamnya. Dia benar-benar teman terbaikku. Banyak kisah yang dituangkan dalam buku itu. Misalnya naksir senior, dilabrak kakak kelas gara2 disukai cowok ganteng di sekolah, ekskul drum band yang menyenangkan tapi menguras waktu sekali, guru2 yang baik dan jahat, kisah keluarga di rumah, ah terlalu banyak! Hingga kami lulus SMP sekitar 30 BuCur sudah kami tulis. Bahkan selain itu kami membuat buku cerpen di mana kami bisa menuliskan cerpen mengenai imajinasi kami akan sesuatu. Luar biasa memang, kami suka menulis dan saling menanggapi dengan tulus. Tau ga? semua cerita imajinasi yang kami tulis dulu kini sudah jadi banyak cerita FTV loh. Keren kan imajinasi kami kala itu??

3 tahun di SMP dia masih menjadi teman terbaikku. Walau mulai banyak juga teman2 baik lain di antara kami.

SMA kami berbeda. Kami berpisah. Sedih rasanya. Namun ini memang kesalahanku karena nilai akhirku yang tidak mencukupi untuk memasuki SMA favorit itu. Akhirnya aku masuk ke SMA favorit di bawahnya. Ingin sekali melanjutkan BuCur, namun sulit karena kami menjadi sangat jarang bertemu. Untungnya saat itu sudah ada HP, jadi kami bisa berkomunikasi melalui SMS atau sesekali menelpon. Itupun kalau lagi kebanyakan pulsa. Kami masih berteman baik. Masih sering jalan bareng ke mall untuk nonton. Masih sangat tahu kisah hidup kami. Bahkan bisa jadi, dengan saling bercerita saja kami jadi saling mengenal siapa teman2 lainnya di SMA tersebut, padahal ga pernah ketemu. 

Masa-masa terbaik dan terburuk mungkin ada di SMA. Kesibukan sekolah sudah merajalela. Kesibukan soal percintaan sudah mulai mengisahkan hidup kami. Dengan siapa kami pacaran, kami saling mengetahui dan memberi masukkan. Tak ayal kami tetap ngeyel dikasih tau, tapi tetap saja dibantu saat salah satu dari kami ada kesulitan.

3 tahun di SMA kami memutuskan bersahabat selamanya. Bestfriend til the end of time.

Memasuki dunia kuliah. Dia mati2an ngejar UI. Aku mati2an ngejar  ITB. Tak ada yang diterima. Saat aku sedang ujian ITB, dia menelepon dan berkata bahwa ayahnya telah meniggal dunia. Saat itu aku merasa bersalah karena tak bisa menemaninya saat dia terpuruk dalam kesedihan. Sementara aku tetap memilih berada di Bandung. 

Tapi bukan berarti karena hal itu kami bertengkar. Kami masih jadi sahabat. Dialah yang sangat mengetahui bagaimana sifat asliku. Dia sangat mengenalku lebih dari diriku sendiri.

Akhirnya dia kuliah di D3 FE UI. Aku nganggur. Karena orang tuaku ingin sekali aku masuk UI. Harus S1. Tidak boleh mengambil universitas swasta. Tidak boleh D3. Ya, orang tuaku memang UI minded. Jujur saja ITB itu aku kejar seorang diri tanpa dukungan orang tua. Kemudian aku menjadi merasa tertekan. Melihat teman-teman seangkatanku sudah mencicipi indahnya bangku kuliah sementara aku masih saja pergi ke bimbel untuk belajar matematika atau sejarah. Sigh. Tapi dia selalu mendukungku. Dia selalu ada disaat aku butuh. Aku masih dirindukan. 

Akhirnya karena menjalani semua pelajaran itu setengah hati, aku tak lolos lagi masuk S1 UI. Aku sangat kalut saat itu. Merasa semua orang memaksaku untuk menjalani sesuatu yang tak kusuka. Aku harus masuk FE karena semua kakakku adalah Sarjana Ekonomi. Sementara aku minat sekali di bidang seni. Aku ingin belajar Design. Tapi tak direstui. Akhirnya aku dipaksa mengambil D3 juga. Di bidang komunikasi. 2 hal yang membuatku gila. Yang pertama adalah aku sudah membuang waktuku setahun dan kini aku mengambil D3, kenapa tak bareng dengan teman2 seangkatanku saja?? kemudian hal kedua adalah bidang komunikasi. Aku ini pemalu dan tak bisa menghadapi orang banyak apalagi harus berbicara depan orang banyak. I was crying in my first class. Tapi Rani selalu mendukungku. Aku terus berusaha. Sampai akhirnya nilai Public Speaking ku A sempurna aku yakin mampu menaklukkan bidang komunikasi ini.

Aku mencari pelarian kesenangan aku. Yaitu musik. Aku ikut Marching Band. Aku jadi gila karenanya. Dunia ini mencuci otakku. Aku menemukan orang-orang yang lebih asik dari bersama Rani. Orang-orang yang jago main musik. Aku dibuat menjadi gila karena musik. Kuhabiskan banyak waktuku di sana. Kebersamaan yang ketergantungan, begitu aku mendeskripsikannya sekarang. Aku jadi jarang bertemu dengan Rani. Karena itu mungkin dia marah padaku. Baru sekali itu dia tak mendukung apa yang kulakukan. Dia tak pernah sekalipun menonton aku bermain marching band. Aku tahu dia marah padaku. Ditambah lagi saat dia wisuda, aku tak menghadirinya. Karena apa? Karena aku sedang latihan Marching Band. Walaupun kini aku sangat menyesalinya, aku tak bisa memperbaikinya. Walau kini aku tak ikut Marching Band lagi, aku tak bisa memutar kembali waktu. Aku salah. Aku merasa sangat bersalah.

Aku marah padanya seingatku baru sekali. Soal kisah cintaku.
"Ran, gw nyesel deh putus sama ***** dulu. Lo ga mau bantuin gw balikan lagi? Kayanya cuma dia yang bisa cocok sama gw."

"Enggak lah. Asal tahu aja ya Mal, dulu abis kalian putus dia juga nyeselll banget dan ngerasa bersalah karena udah mutusin lo. Sampe pingin ngajak balikan lagi. Tapi gw bilang aja ga usah, Amalianya udah suka sama cowo lain. Hehee.."

Itu kejadiannya udah 6 tahun setelah putus. Gila, itu aja yang gw marah banget. Tapi yang gw sadari sekarang adalah hal itu bukan apa-apa dibanding keegoisan gw ninggalin dia demi Marching Band. Gw emang jahat sama lo Ran.

Walau akhirnya kita masih sesekali ketemu, kita masih bisa nyebutnya sebagai Quality Time. Janji namatin ketujuh film Harry Potter di bioskop pun punah karena dalam perjalannya kita punya teman-teman baik lain. But, it's fine. Kita tetap sahabat. Begitu kata Rani.

Kini aku dan Rani sudah sibuk dengan dunia kerja. Terakhir kudengar cerita baik darinya adalah dia berpacaran lagi dengan mantannya waktu SMA. Aku sangat bahagia... Sungguh bahagia. Melihat dia ngepost di social media soal pria itu, bagaimana pria itu membahagiakannya. 

Akhirnya Allah membalasku. Aku sulit bertemu Rani. Setiap weekend dia selalu jalan dengan pacarnya dan keluarga pacarnya. Setiap weekdays dia tak bisa dihubungi karena sibuk kerja. Saat aku ingin curhat dengannya dia selalu mengatakan sedang sibuk sekali, tak ada waktu. Saat aku mulai menangis, dia bilang aku jangan cengeng dan harus jadi dewasa. Padahal aku menangis bukan karena merengek seperti anak kecil, tapi aku merindukan pengertian dan kebersamaan dengannya. Saat aku bilang padanya bahwa dia kini terlalu banyak menghabiskan waktu dengan pacarnya, dia berkata:

"Mal, dulu yang lo lakuin pas MB apa? Emang lo punya waktu buat gw? Enggak pernah kan. Sekarang gw baru pacaran berapa bulan lo udah ngomong kaya gini? Gw juga berhak bahagia kali. Kita temenan udah belasan tahun. Boleh dong gw punya kehidupan baru."

Kali itu aku benar-benar menangis. Bahkan menangis lagi ketika mengetik kalimat barusan. Aku memang jahat. Menyisakan dendam yang teramat dalam pada dirinya.

Akhirnya dia mulai menghilang dari hidupku. Tak kontak beberapa bulan. Ulang tahun hanya mengucapkan "Selamat ulang tahun Mal!". Tak ada lagi telepon berdering. Tak ada lagi kabar bahagia yang dia beritahukan padaku sebagai orang pertama, tak ada lagi kabar sedih yang dia ungkapkan, kemudian dia tak hadir untuk silaturahmi saat lebaran, dan di reuni SD dia bahkan mengolok2ku depan teman lainnya dan tidak menggubris kehadiranku. She has no respect of me anymore....

Aku sedih. Ya, aku sedih. ini memang salahku sendiri. Aku terjerumus dalam dunia yang telah merusakku. Merubahku jadi orang yang jahat pada orang yang sangat sayang padaku. Begitupun keluargaku. 

Kesedihanku masih suka terasa saat aku sedang merasa sangat bahagia, tapi tak ada Rani yang bisa aku ceritakan seperti masa-masa dulu. Saat aku memberitahukan segala hal pada dirinya. Saat dia selalu jadi orang pertama yang mengetahui apapun. Begitu juga denganku. Bayangan masa kecil kami yang sedang tertawa bersama saat SD, SMP dan SMA terus berputar dalam kepalaku. Dan sekali lagi, air mata ini mengalir....

Banyak sekali hikmah yang kuambil dari kejadian ini. Yang jelas, walaupun aku pernah se salah itu, tapi aku punya hak untuk memperbaikinya. Kini aku sudah hidup jauh lebih baik tanpa hadirnya. Walau kadang kumerindunya, aku hanya bisa mendoakannya. Aku sudah mengikhlaskan kepergiannya. Semua hikmah yang kudapat, sudah aku bungkus dalam satu tekad kuat untuk bertobat di jalan Allah. Kini aku selalu bersyukur dan mendoakannya, saat kulihat senyum di foto yang dia post. Foto dirinya, foto dia dan calon suaminya, foto dia dan keluarganya, foto dia dengan sahabat barunya. :)

Dia pernah menjadi sahabat terbaikku. Rani. 

Terima kasih, Ran.

Melindungi Kebahagiaan

Pernahkah kau mengalami hal seperti ini?

- Memejamkan mata lalu melihat seseorang yang membuatmu tersenyum
- Kemudian kau menyadari bahwa kehadirannya telah berpengaruh banyak dalam hidupmu
- Dia yang selalu ada bersamamu dalam kurung waktu tertentu
- Kau teringat apa saja yang telah terjadi di antara kalian
- Kau tersenyum bagaimana semua kejadian itu telah membawa hikmah dalam hidupmu
- Merasa begitu indah dan ingin melukiskannya dalam kata-kata
- Namun saat kau mulai menulis kau bingung untuk memulainya dari mana...

Haha.. hal itulah yang sudah seringkali terjadi padaku. 

Mungkin hal inilah yang didefinisikan sebagai berikut:

Semakin dewasa seseorang, semakin ia tak ingin ia mengumbar sesuatu yang ia miliki. Bukan karena tak mensyukurinya atau tak senang memilikinya, melainkan karena hal tersebut terlalu berharga untuk diberitahukan ke orang banyak. Pada dasarnya ia hanya ingin melindungi kebahagiaan itu, agar tak ada orang lain yang mengusiknya dengan hal-hal yang bisa menyakiti kebahagiaan itu. Akan tiba saatnya nanti saat semua dunia tahu kebahagiaan yang dimilikinya. 

Dan lebih menyenangkannya lagi, tidak hanya terjadi pada diriku saja. :)

Menulis, Membuatku Tetap Bernafas



Pagi ini aku membuka mata, teringat lagi bayangan wajah itu. Wajah yang menyejukkanku selama ini. Seketika itu juga aku tersenyum dan kembali tenggelam dalam memeluk guling yang kian erat. Senyumkupun mulai merekah.

Orang itu, pikirku. Ada saja hal yang membuatku ingin larut dalam sebuah tulisan mengenai dirinya. Banyak hal yang telah terjadi selama hampir dua tahun ini dan merubah kehidupanku.

Berbicara tentang tulisan, tiba-tiba aku teringat ada seseorang yang bertanya padaku kenapa aku harus menulis. Kemudian aku berpikir, kenapa aku harus jawab orang itu ya? Kemudian aku tertawa. Ada-ada saja memang. Menjadi selektif akan banyak hal merupakan salah satu hal yang dia ajarkan padaku. Dia di sini bukanlah yang bertanya kenapa aku harus menulis, melainkan dia yang kehadirannya ingin sekali kutulis dalam setiap lembaran kisah hidupku. Lalu apakah DIA jawaban kenapa aku harus menulis? Jika iya, mungkin sebaiknya aku berhenti sampai di sini.

Kemudian aku beranjak dari tempat tidurku. Biasanya aku melanjutkan pagi dengan melakukan jogging. Tapi tidak untuk kali ini, aku memilih menikmati nyamannya kamarku di pagi hari. Bukan karena mager, tapi ini sungguh pagi yang luar biasa di mana paparan pemikiran akan hal yang ingin kulakukan tersaji dalam visiku. Aku mulai membuka laptopku dan mulai mengetik.

Rasanya seperti menghirup udara pagi yang sejuk. Aku bernafas. Setiap jari yang kujentikkan pada hamparan huruf di keyboard ini kian memberikanku oksigen untuk berimajinasi akan kenyataan. Apa itu berimajinasi akan kenyataan? Aku mendefinisikannya sebagai suatu keadaan di mana aku sedang memikirkan kembali apa yang telah terjadi dalam hidupku, mengambil semua hikmah di balik setiap peristiwa baik yang buruk sekalipun, lalu aku hadir kembali di waktu saat ini dan mensyukuri semua hal tersebut sambil penuh keyakinan tahu apa yang akan aku lakukan setelah ini, untuk memperbaiki diri, mengejar cita-cita dan bagaimana menjadi orang yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Semua hal tersebut dilakukan pada saat yang bersamaan. Itulah definisiku akan “berimajinasi akan kenyataan”. Keren ya? Iya, aku memang keren.

Kadang saat aku melangkah sendiri di keramaian, aku bisa melihat orang lain. Justru saat aku ada di tempat asing, aku bisa melihat orang lain sekaligus melihat diriku sendiri. Misalkan saja, ada suatu hari di mana aku pergi ke suatu tempat menggunakan kendaraan umum. Dalam sehari-hari saat aku biasa menggunakan kendaraan pribadi, tapi hari itu aku menuju suatu tempat menggunakan jasa angkutan kereta. Kulangkahkan kakiku ke luar rumah dengan memohon perlindunganNya. Setiap langkah yang kujalani, membawa aku pada pemandangan baru, yang mungkin sering kali luput. Saat menunggu angkutan umum menuju stasiun aku merasa kepanasan di bawah terik matahari. Namun saat aku ingin mengeluh, aku teringat bagaimana dengan mereka yang setiap hari bekerja dengan peluh keringat di bawah terik matahari? Apa mereka mengeluh? Tidak. Mereka menyimpannya dalam doa. Saat panas itu kian membakar kulitku, aku tersenyum. Bukankah ini cara Allah mengingatkan umat manusia bahwa matahari yang bersinar terik ini bukanlah apa-apa dibanding dengan api neraka nanti?

Akhirnya angkutan umum ini membawaku ke stasiun kereta terdekat dari rumahku. Di perjalanan stasiun menuju peron, aku melewati beceknya pasar dan di sudut kulihat orang yang tertidur di atas kardus kotor. Aku sangat bersyukur bisa tidur nyenyak di kasur empukku dan terbangun nyaman pagi tadi. Bagaimana dengan orang yang tidur di kardus tersebut? Bisa jadi orang itu lebih bersyukur karena dia tidak tidur di kolong jembatan.

Keretapun datang. Cukup ramai yang telah menunggu kereta tersebut hingga memungkinkan sekali terjadinya aksi saling mendorong. Kulihat ibu-ibu itu bisa berubah menjadi sangat kasar demi bisa masuk ke dalam kereta tersebut. Ada beberapa ibu paruh baya yang mulai goyah terdorong oleh mereka yang menyeruak masuk tanpa peduli apakah ada dari mereka menyakiti orang lain. Bahkan untuk berusaha mendorong orang lain saja aku tidak, aku pasrah. Dan tahukah kamu, bahwa aku sangat bersyukur karena masih memiliki perasaan seperti itu. Karena aku yakin tak semua orang memilikinya. Bisa jadi juga mereka memilikinya, namun tetap tidak peduli. Bagiku tak perlu memaksa. Hal itu memang yang diajarkan Allah, yaitu tidak menyakiti orang lain dalam usaha mencapai tujuan kita. Mereka yang menaruh keyakinan pada Allah takkan takut untuk bersabar. Tiba-tiba aku teringat sebuah momen saat aku di tanah suci dan ingin sekali mencium hajar aswad. Aku sudah di depan Multazam selama tiga jam, namun begitu penuh dan sesaknya aku yakin akupun tak bergeser mendekat ke arah hajar aswad. Banyak mereka yang mendekat ke arah hajar aswad. Dengan cara apa? Mendorong, menginjak, menyingkirkan orang lain dengan sikut mereka. Kulihat darah di lantai. Sungguh, jika aku tak menaruh keyakinanku akan ajaran Allah untuk tidak menyakiti orang lain, aku pasti sudah melakukan hal yang sama.

Lamunanku itu buyar saat aku mulai memperhatikan orang lain di kereta. Ada mereka yang ingin berangkat ke kantor, ada mereka yang ingin ke sekolah, ada yang mungkin baru saja pulang dari pasar. Pikiranku melayang pada mereka, memikirkan begitu banyak hal yang Allah tunjukkan padaku hanya untuk membuatku sadar dan terus bersyukur.  Kadang Allah juga menunjukkan pada manusia melalui orang lain untuk “jangan pernah seperti itu.”

Derap langkahku mengiringi semua pikiran dan akal sehatku bahwa begitu banyak hal yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata di hadapan orang banyak. Begitu banyak cerita, baik maupun buruk, yang terjadi dalam hidupku dan mungkin dalam hidup orang lain. Cerita-cerita tersebut bisa menjadi inspirasi bagi orang lain untuk belajar dan bersyukur.

Dari kecil, aku sangat senang menulis buku diary. Apa saja yang terjadi dalam hidupku hari itu kutuliskan semua. Sampai bangku SMA aku masih suka menulis. Kisahnya mulai beragam. Kisah cinta, kisah kelelahan latihan basket, kisah pertengkarang dengan orang tua di rumah, kisah cita-cita. Banyak sekali. Bahkan saat SMP, aku pernah menulis di buku tulis kosong sebuah cerita cinta. Sebuah cerita cinta yang menurutku harusnya semanis itu, konfliknya harusnya ada seperti itu, sampai akhirnya bisa seperti ini dan itu. Selama 3 tahun sepanjang SMP aku telah menulis cerita bersambung itu sebanyak lebih dari 30 buku tulis dan hanya kuperbolehkan seorang sahabat terbaikku bernama Rani yang boleh membacanya. Tahukah kalian bahwa saat umurku 25 tahun ini dan aku menonton berbagai kisah FTV mulai dari kisah yang masuk akal sampai tidak dan aku berpikir, “Hahaa.. basi ah. Aku udah pernah kebayang semua ini dan aku tulis dulu!” Mau si cewek buta, cewek kaya dan miskin, tidak direstui orang tua, pindah agama, hamil di luar nikah, suka sama guru, hilang ingatan, mendadak jadi artis, cinta sama sahabat, dan lain-lain. Keren ya aku? Iya aku keren.

Sayangnya hobiku itu tak hanya menulis. Jadi sering sekali ketika beranjak dewasa dan mulai menulis lagi aku sangat mudah terdistrak. Misalnya sedang menulis, karena pegal jadi aku bermain gitar. Atau ketika sudah masuk chapter dua, aku istirahat dengan jalan-jalan. Lalu lupa dan malas. Tapi satu hal yang pasti, saat aku masih menulis, walaupun sedikit, itu berarti aku masih bernafas.

Dan saat ini aku yakin, jika aku bisa menulis lebih banyak lagi, aku tidak hanya tetap bernafas, tapi juga bisa memberikan nafas bagi kehidupan orang lain. Melalui banyak kisah yang patut kita syukuri, mulai dari hal kecil sampai hal besar. Luar biasa apa yang telah diajarkan oleh kehidupan. Aku ingin mengingatkan mereka yang lupa akan banyak hal dalam hidup mereka sendiri melalui tulisanku. Itulah kenapa aku harus menulis dan terus menulis. 

Tuesday, July 1, 2014

Hidayah Hijabku


Sungguh aku amat merindukan langkahku hadir di sana. Lantai yang begitu dingin, tak peduli kala siang maupun malam. Hamparan langit yang terbentang luas di atasnya. Bagai payung cerah yang menyinari, namun tetap melindungi kita dari silaunya senyum sang matahari. Sekeliling kulihat ratusan ribu atau mungkin lebih manusia, yang di dalam hatinya sama-sama mengingat satu hal, Allah. Semua gumam akan zikir dan doa yang tak pernah putus, seakan memelukku dalam balutan kehangatan.

Kutatap rumahMu nan megah. Hatiku bergetar sejak pertama kali mengingatnya. Ratusan ribu kilometer kutempuh untuk hadir di sana. Semenjak aku kecil, aku selalu membayangkannya dalam sholatku. Menjaga khusyukku akan kiblatku. Namun akhirnya aku bisa berdiri di dalam rumahMu, menatap Ka’bah yang menjulang. Begitu besarnya dia, hingga aku merasa makhluk paling kerdil yang telah ada.

Banyak orang telah berlinang air mata, menciumi Ka’bah. Bagiku semua itu sangat mengharukan. Kupimpin langkahku untuk kian dekat ke arahnya. Sungguh bangunan yang wangi, bersih, meskipun jutaan orang telah menyentuhnya. Ka’bah itu tak kemana-mana. Namun kamilah para manusia yang mengililinginya. Dengan segala macam zikir yang kami ucapkan, segala doa dan harapan yang kami bacakan di tiap sudutnya, kami benar-benar bagai larut dalam adukan kasih ilahi.

Kian masuk ke dalam lingkaran kecilnya, semakin aku merasa penuh desakan. Kuingat bahwa tak boleh bagi kita menggunakan kekerasan demi mencoba menyentuhnya. Apalagi menyakiti orang lain demi mencium hajar aswad, berdoa di Multazam, sholat di hijr ismail. Jika Allah menghendaki kita bisa dekat dan meraihnya, maka tiada satupun yang akan bisa menghalanginya.

Sudah hampir dua jam aku berdiri di depan Multazam. Sambil terus berzikir dan memohon kepada Allah agar diberi kemudahan dan kesempatan bisa lebih dekat ke Multazam dan mencium Hajar Aswad. Tak ada yang bergerak. Tembok Ka’bah itu masih sekitar dua meter dari gapaian tanganku. Di sekitarku berdiri pria-pria yang berasal dari Negara lain. Entah dari mana saja, yang jelas tinggi badanku hanya seketiak mereka. Mereka mulai saling mendorong. Kurasa beberapa dari mereka telah habis kesabarannya. Luar biasa diriku terguncang. Namun aku tetap berdoa pada Allah agar diberi kekuatan untuk masih bisa bertahan di sana.

Mereka yang telah berhasil mencium Hajar Aswad bahkan tak mampu membalikkan badan mereka untuk memberi kesempatan pada yang lainnya. Semua mulai saling mendorong ke arah Multazam dan Hajar Aswad. Aku mulai merasa kehabisan nafas. Dengan kerumunan pria-pria tinggi itu, aku harus menengadahkan kepalaku agar bisa menghirup oksigen.

Kudengar beberapa orang di depanku, termasuk wanita paruh baya, mulai berteriak. Ternyata mereka yang telah berhasil mencium Hajar Aswad memilih untuk memanjat ke Ka’bah dan melompat seadanya ke atas hamparan orang-orang yang tak bisa bergerak di sana. Dengan kasar mereka menginjakkan kakinya di kepala kami yang mulai berdesakan di bawah, dan dengan ringannya melangkahkan kakinya di atas kepala atau pundak kami hingga berhasil menjauh dari Hajar Aswad dan Multazam itu. Kami yang berada di bawah tak punya pilihan untuk menghindar. Kami hanya bisa pasrah apabila kepala kami diinjak. Sakit, luar biasa sakit, tapi tak boleh hati ini mengeluh, apalagi hingga mulut ini mengumpat kekesalan.

Kepalaku masih menengadah. Tapi kali ini sudah tak ada lagi oksigen yang bisa kuhirup. Kali itu aku pertama kali merasakan bahwa tak ada udara yang berhasil masuk, walaupun aku telah menarik nafas sekuat tenaga. Aku hampir panik. Aku mulai takut tak bisa bernafas. Rasanya benar-benar seperti tercekik dan tenggelam dalam lautan. Sementara tak bisa beranjak pula dari situ, dan orang-orang semakin liar dan ganas. Tak peduli apakah di sana ada wanita atau bahkan orang tua.

Aku tidak sendiri. Ada abang tertuaku yang bersamaku di sebelahku. Pun dia mungkin merasakan hal yang sama denganku, namun aku pikir pastilah dia lebih kuat dariku, karena dia seorang laki-laki. Dia tak berusaha memelukku atau melakukan tindakan yang benar-benar menjagaku. Dia hanya selalu membisikkanku untuk selalu berdoa pada Allah agar bisa terus bertahan dan diberi kesempatan.

Kurasa sudah dua jam akhirnya kami di sana. Masih dalam keadaan tak bergerak dan sesekali terinjak. Usai subuh kami masih berdiri dalam kegelapan langit, hingga kini langit telah memiliki rona merah yang menyeruak dalam langit biru yang indah.

Nampaknya abangku mulai melihat aku kelelahan. Hingga akhirnya dia berkata mungkin sebaiknya aku mencoba di lain kesempatan. Akupun langsung merasa kesedihan menyelimutiku. Bagaimana tidak, hari itu adalah hari terakhir aku berada di tanah suci. Selain hari itu, tak ada lagi kesempatan bagiku dalam periode ini. Berulang kali abangku meyakinkanku bahwa Allah akan memberikan rezeki padaku untuk kembali ke sana. Mungkin dengan suamiku kelak. Tapi entah kenapa rasanya aku masih ingin berusaha, walaupun nafasku telah putus-putus.

Bukan berarti aku tak percaya akan rezeki yang didatangkan oleh Allah. Namun, apakah kita tahu bahwa mungkin Allah akan mendatangkan ajal terlebih dahulu untuk menjemput kita? Apakah saat kita diberi kesempatan ke sana lagi kita masih dalam keadaan sebugar sekarang? Tak ada yang tahu. Kemudian kukatakan pada abangku bahwa aku masih ingin berusaha. Dan aku memohon padanya untuk tidak menggiringku ke luar dari kerumunan itu.

Dan sekali lagi kepalaku terinjak. Kali ini benar-benar kurasakan sakit. Mungkin karena ditambah sudah kekurangan oksigen juga. Badanku mulai lemas. Pikiranku mulai sesekali melayang ke pikiran yang tak seharusnya.
Entah sudah berapa menit pikiranku kosong, hingga seorang pria bertinggi (aku sangat yakin) minimal dua meter itu menyapa abangku.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. You want to kiss Hajr Aswad?” tanya abangku.
“You want to kiss Hajr Aswad?” dia balik bertanya.
“I asked you.”
“I asked you.”
Entah berapa lama mereka saling bertanya beberapa pertanyaan, namun yang kudengar hanyalah pria tinggi itu selalu mengulang pertanyaan abangku. Aku lelah mendengar mereka. Aku tak mampu lagi menengadahkan kepalaku, akhirnya aku menunduk. Tak peduli sudah tak ada oksigen yang bisa kuhirup, aku mulai pasrah. Aku mulai berpikir bahwa tak mengapa aku meninggal di sini. Luar biasa akan disolatkan oleh ratusan ribu orang di sini. Semua akan mendoakanku. Aku mungkin akan masuk Surga. Ya, solat di sini kan pahala seratus ribu kali lipat. Pandanganku mulai mengabur. Kulihat di bawah ada darah berceceran. Entah milik siapa. Mungkin orang yang terinjak tadi. Bagaimana jika itu darah ibu tua tadi? Atau darah kakek tadi? Bagaimana keadaan mereka sekarang? Di mana mereka? Aku sangat pasrah.

Kukatakan dalam hati ini, ya Allah jika Kau tak memberi kesempatan padaku kali ini untuk mencium Hajar Aswad, tidak apa. Kumohon berikanlah aku rezeki untuk kembali lagi ke rumahMu ini dalam keadaan sehat walafiat. Namun jika Kau ingin memanggilku saat ini kehadapanMu, aku telah siap ya Allah. Walaupun diri ini mungkin pernah bergelimang dosa, aku yakin Kau akan mengampuni segala khilafku selama di dunia ini dan lancarkanlah langkahku menuju hadapanMu. Ya Allah, jika Kau masih mengizinkan aku hidup sekali lagi, aku berjanji akan selalu berusaha jadi manusia yang bertakwa. Aku akan mengawali dengan menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslimah yaitu menetapkan jiwa ragaku untuk mengenakan hijab. Aamiin.
Aku lupa apakah kemudian aku masih bernafas. Sampai pria tinggi dengan gamis sangat bersih berwarna putih dan kulitnya yang sangat hitam itu berkata,
“Let me help you and your wife.” Katanya pada abangku.
Kemudian abangku menolaknya. Aku tahu abangku berkata no dan menggelengkan kepalanya. Aku paham pasti abangku sangat khawatir jika pria ini akan melakukan kekerasan untuk menyingkirkan orang-orang di sekitarnya demi membuka jalan menuju Hajar Aswad kepadaku.
“Follow me.” Ucap pria itu.
Tanpa sempat mengucapkan kata-kata lagi, pria itu seolah berkata “permisi” pada orang-orang yang sejak dua jam tadi memenuhi depan Hajar Aswad dan Multazam itu. Tiba-tiba kulihat jalan terbuka dengan lebarnya menuju Hajar Aswad. Tanpa ada satu orangpun. Aku bisa melihat lantai bersih Masjidil Haram, yang awalnya tadi kulihat ada percikan darah.  Tanpa sadar aku bernafas kembali. Dalam sepersekian detik, semua berjalan bergitu cepat! Aku bisa melihat jalan itu terbuka, Hajar Aswad berdiri dengan lapangnya, pria itu berkata “Please.” sambil mengarahkan untuk segera masuk ke jalan terbuka itu, hingga aku tersadar begitu abangku berteriak, “SEKARANG!! BURUAN!”.
Aku yang kaget langsung melangkah masuk ke dalam jalan itu, seolah orang-orang di sekitarnya membeku. Dalam hitungan dua detik aku benar-benar berdiri di depan Hajar Aswad. Aku hampir termenung lagi tak percaya. Kutengok pria besar itu di tempatnya, namun dia tak lagi di sana. Entah ke mana dia pergi. Cepat sekali.
“CIUM!!” teriak abangku.
Akhirnya kumasukkan kepalaku ke dalam Hajar Aswad dan aku menciumnya. Dua kali kumasukkan. Begitu dingin, wangi, aku bisa merasakan bibirku menyentuh pecahan batu dari Surga itu. Luar biasa.
Keberhasilan yang indah itu hanya sampai di situ saja. Kedua kalinya kukeluarkan kepalaku dari sana, aku bisa merasakan seseorang menarik belakang kerah bajuku dengan kerasnya. Aku bagai tercekik. Dan kali ini aku benar-benar tak merasakan kakiku menginjak tanah. Aku melayang. Ditarik oleh banyak orang untuk menjauhi Hajar Aswad karena mereka juga ingin menciumnya. Mereka tak peduli akan nyawaku. Jika kali itu aku benar jatuh ke tanah, habislah sudah aku terinjak oleh mereka tanpa ada kesempatan untuk bangkit berdiri. Aku berteriak-teriak. Aku tak merasa abangku ada di dekatku. Mungkin dia juga terpisah karena kerusuhan orang-orang tersebut. Dan aku masih melayang. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak jatuh. Tiba-tiba aku takut Allah mengabulkan doaku untuk kembali kepadaNya. Tentu saja dia akan mengabulkannya! Aku telah berdoa di Multazam. Dia baru saja mengabulkan doaku mencium Hajar Aswad, dan mungkin kali ini Dia akan mengabulkan doaku yang lain tadi, yaitu kembali padaNya.
Aku terseret melayang cukup jauh dan memang menjauhi kerumunan depan Hajar Aswad itu. Aku merasakan kali ini pasti jatuh ke lantai. Namun untungnya lantai yang sudah agak jauh dari kepadatan itu. Akhirnya abangku menemukanku dan menarikku menjauh. Saat itulah aku menangis sejadi-jadinya.
Sungguh pengalaman antara hidup dan mati yang luar biasa. Dalam beberapa jam terakhir aku telah diberikan hidayah oleh Allah. Di hari terakhirku di kota Mekkah. Usai melaksanakan ibadah haji wada’, kemudian berdoa di Multazam, mencium Hajar Aswad. Diberi kesempatan merasakan bagaimana jika kematian datang menjemput, bagaimana rasa sayang Allah tercurah kepada kita para umat Islam. Sungguh luar biasa.
Tak ada lagi yang bisa kukatakan selain bersujud syukur dan meyakinkan diriku bahwa inilah saatnya Allah memberikan hidayahNya untukku untuk menjalankan kewajiban seorang muslimah, yaitu berhijab. Insha Allah selalu istiqomah dan bisa menjadi benteng untuk diri ini. Aamiin..

Bagi kalian yang belum berhijab, mungkin kalian masih menunggu hidayah dari Allah. Tapi sadarkah kalian bahwa kalianpun juga harus berusaha dalam menjemput hidayah tersebut. Seberapa kuat kita berdoa agar hidayah tersebut lekas datang? Seberapa lemah kita pada godaan dunia bagi kaum wanita? Kapan kita akan sadar bahwa berhijab adalah kewajiban. Bukan sesuatu yang okelah-nanti-juga-gapapa.
Banyak yang memutuskan untuk mengenakannya setelah menjadi istri dan ibu untuk tiga orang anak. Apakah ini belum terlambat? Justru di masa muda ini lah nafsu bergitu gencar menggoda iman manusia. Menggunakan hijab memang tak menjamin kau akan suci 100% dari dosa, namun setidaknya hijab akan menjadi benteng dirimu untuk selalu melakukan hal baik yang diridhoi Allah.
Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah swt. dan semoga sedikit cerita ini bisa menginspirasi kalian yang belum tersadar akan kewajiban berhijab ini. Aamiin…… )


Friday, May 16, 2014

Manis...

Sepanjang perjalanan disewotin terus
Dibilang ngeselin
Dianggep ga jelas
Kalau tertangkap mata lagi ngeliatin dia kemudian diketusin, "Apa sih??!"

Tapi dia rela ninggalin keinginannya makan sesuatu yang dia mau demi nemenin gw makan sushi.
Lagi dan lagi..
Bosen dan bosen..

Berkali-kali makan sushi, dia bilang bosen, tapi masih mau nemenin.
Bahkan pernah terlihat gw sedang tidak memiliki nafsu makan, dia bilang "yauda di mall ini ada sushi nya kok.."

Menurut gw itu manis...

Walau dia ga berselera, tapi ngeliat gw bernafsu makan sushi, bahkan sampai ngasih porsi sushi dia buat gw juga.. hehehe.
Dan begitu piring-piring kosong itu bergeletakan dia bilang, "aku seneng deh liat kamu ngabisin semua ini."

Meski dalam hati gw menjawab, "aku juga seneng kalo ngabisin sisa hidup aku sama kamu."

Menurut gw itu manis...

Dia itu orang yang selalu bilang kesel dan sebel dan benci sama gw.
Tapi ngeliat kebiasaan baru dia yaitu kunci pintu mobil.. itu seneng banget rasanya.
Inget banget dulu selalu sewot "Kenapa sih harus dikunci?? Gausa lah.. Penting banget! Emang ada apa sih??"
Kemudian semua alasan yang gw utarain pelan-pelan selalu dibantah, tapi ternyata dia tak pernah sedikitpun melewatkan perkataan gw..

Itu juga manis...

Anak Gendut <3 p="">

Tuesday, January 21, 2014

sebuah harapan

Sebuah harapan ini terlahir setelah aku mengenal sosokmu
Sosok yang begitu penuh rahasia

Aku ingin bercerita di tempat tak ada orang lain melihat
Aku ingin menjadi seorang istri
yang sholehah
yang patuh pada sang suami
yang sederhana
tidak kerja di kantor
hanya mengurus rumah tangga ini

Ingin memiliki suami yang memahami hal tersebut dengan tidak dangkal
mungkin jarang ditemukan saat ini seseorang yang ingin memiliki istri seperti itu.
namun aku ingin dimiliki pria seperti itu.
yang tetap mau menafkahi keluarga kami kelak
Walau aku tak ikut mencari nafkah di kantor.
tak menjadi wanita karir yang keren
hanya ibu rumahan yang pandai mengurus anak

bagaimana harus kukatakan...
Jika aku jujur akan hal ini, apakah ada pria yang menginginkan sisa hidupnya bersamaku?
Bukan maksudku untuk membohongi diri sendiri dan orang lain.
kini aku merasa serba salah.

saat apapun yang kukatakan tak kau percaya
bagaimana aku bisa ungkapkan semua?
aku kosongkan hatiku dari segala penyakit hati
namun kau tetap memojokkan aku dalam kesalahan
entah karena kau terlalu takut itu terjadi, trauma atau mengujiku.

kau tak perlu bersikeras seperti itu.
aku ini sederhana, bahkan mungkin terlalu sederhana
Hingga kadang seolah mencari kerumitan hanya untuk membuat aku sadar
bahwa aku masih hidup di dunia
Bukan menghuni surga.

ya Allah.... semoga kelak bisa bertemu pria itu
dan semoga pria itu benar adalah kamu.