Monday, October 6, 2014

Perhatikan, Rani!

"You don't know what it's like..."

"I know how does it feel.."

"NO.. absolutely not. You are not me."


Ya. Tak ada seorang lainpun yang bisa merasakan apa yang kita rasakan. Terlebih sebuah kesedihan. 
Apa aku sedang bersedih? Bisa dikatakan ya, bisa juga tidak. Ya, karena memang menyedihkan. Tidak, karena aku sudah mengikhlaskannya.

Aku punya sahabat. Dulu. Aku tak mudah mengatakan seseorang sebagai "sahabat". Karena bagiku sahabat bukanlah seseorang yang sering bersama kita, menghabiskan waktu dengan kita, nyambung kalau ngobrol, asik diajak main. Sahabat itu lebih menjadi seseorang yang bahkan kadang lebih mengenal diri kita daripada diri kita sendiri, lebih bisa mengerti diri kita dibanding ego kita sendiri, tahu tidak hanya apa yang kita mau, tapi apa yang kita butuhkan, seseorang yang tidak hanya memuji keberhasilan kita, tapi juga menampar kita saat kita bodoh. Seseorang yang tak berniat sama sekali mengubah kita menjadi orang lain, tapi selalu mendukung kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tak perlu dibayar dengan apapun, karena kebersamaan kita merupakan sesuatu yang sangat berharga.

Aku punya satu orang sahabat. Namanya Rani Sofiani. Panggilannya Rani. Rumahnya di Ragunan. Aku pernah sayang sekali dengan dia. Kebersamaan kami sudah 20 tahun. Apa rasanya? Sulit sekali dijelaskan dengan kata-kata.

Kira-kira apa saja yang sudah terjadi selama 20 tahun? Sungguh begitu banyak.

Perkenalan kami saat kelas 1 SD merupakan perkenalan yang tidak disengaja. Kami sedang bermain petak umpet dengan beberapa anak baru lain yang kamipun tak saling mengenal. Tak sengaja aku bertemu dia saat bersembunyi di masjid sekolah. Di situ lah kami saling mengenalkan diri. Setelah kembali ke kelaspun kami menyadari bahwa sedari pagi tadi kami sudah duduk di meja yang berdekatan.

6 tahun di SD dia selalu menjadi teman baikku.

Kini kami telah melanjutkan sekolah di SMP yang sama. Namun tak lagi sekelas. Untuk memudahkan bertukar cerita atas yang kami alami selama SMP itu kami menciptakan sebuah buku curhat. Khusus hanya untuk kami berdua dan hanya kami yang boleh membacanya. Kami menyebutnya BuCur (Buku Curhat). Buku itu selalu berpindah tangan kami secara bergantian setiap hari. Oleh sebab itu, setiap di rumah pulang sekolah kami saling mengetahui kabar kami hari itu dan akan kami tulis kembali feedback sebagai masukan atau saran atas masalah dan kejadian yang dihadapi hari itu. Hal itu kami lakukan karena tak mungkin rasanya kami saling ketemuan di sekolah, sementara beda kelas beda tugas beda kesibukan. Kemudian tak mungkin juga telponan di rumah berlama-lama. Bisa mahal bayar teleponnya.. hehe. 

Semua ceritaku dia mengetahuinya. Semua metamorfosaku ada dia di dalamnya. Dia benar-benar teman terbaikku. Banyak kisah yang dituangkan dalam buku itu. Misalnya naksir senior, dilabrak kakak kelas gara2 disukai cowok ganteng di sekolah, ekskul drum band yang menyenangkan tapi menguras waktu sekali, guru2 yang baik dan jahat, kisah keluarga di rumah, ah terlalu banyak! Hingga kami lulus SMP sekitar 30 BuCur sudah kami tulis. Bahkan selain itu kami membuat buku cerpen di mana kami bisa menuliskan cerpen mengenai imajinasi kami akan sesuatu. Luar biasa memang, kami suka menulis dan saling menanggapi dengan tulus. Tau ga? semua cerita imajinasi yang kami tulis dulu kini sudah jadi banyak cerita FTV loh. Keren kan imajinasi kami kala itu??

3 tahun di SMP dia masih menjadi teman terbaikku. Walau mulai banyak juga teman2 baik lain di antara kami.

SMA kami berbeda. Kami berpisah. Sedih rasanya. Namun ini memang kesalahanku karena nilai akhirku yang tidak mencukupi untuk memasuki SMA favorit itu. Akhirnya aku masuk ke SMA favorit di bawahnya. Ingin sekali melanjutkan BuCur, namun sulit karena kami menjadi sangat jarang bertemu. Untungnya saat itu sudah ada HP, jadi kami bisa berkomunikasi melalui SMS atau sesekali menelpon. Itupun kalau lagi kebanyakan pulsa. Kami masih berteman baik. Masih sering jalan bareng ke mall untuk nonton. Masih sangat tahu kisah hidup kami. Bahkan bisa jadi, dengan saling bercerita saja kami jadi saling mengenal siapa teman2 lainnya di SMA tersebut, padahal ga pernah ketemu. 

Masa-masa terbaik dan terburuk mungkin ada di SMA. Kesibukan sekolah sudah merajalela. Kesibukan soal percintaan sudah mulai mengisahkan hidup kami. Dengan siapa kami pacaran, kami saling mengetahui dan memberi masukkan. Tak ayal kami tetap ngeyel dikasih tau, tapi tetap saja dibantu saat salah satu dari kami ada kesulitan.

3 tahun di SMA kami memutuskan bersahabat selamanya. Bestfriend til the end of time.

Memasuki dunia kuliah. Dia mati2an ngejar UI. Aku mati2an ngejar  ITB. Tak ada yang diterima. Saat aku sedang ujian ITB, dia menelepon dan berkata bahwa ayahnya telah meniggal dunia. Saat itu aku merasa bersalah karena tak bisa menemaninya saat dia terpuruk dalam kesedihan. Sementara aku tetap memilih berada di Bandung. 

Tapi bukan berarti karena hal itu kami bertengkar. Kami masih jadi sahabat. Dialah yang sangat mengetahui bagaimana sifat asliku. Dia sangat mengenalku lebih dari diriku sendiri.

Akhirnya dia kuliah di D3 FE UI. Aku nganggur. Karena orang tuaku ingin sekali aku masuk UI. Harus S1. Tidak boleh mengambil universitas swasta. Tidak boleh D3. Ya, orang tuaku memang UI minded. Jujur saja ITB itu aku kejar seorang diri tanpa dukungan orang tua. Kemudian aku menjadi merasa tertekan. Melihat teman-teman seangkatanku sudah mencicipi indahnya bangku kuliah sementara aku masih saja pergi ke bimbel untuk belajar matematika atau sejarah. Sigh. Tapi dia selalu mendukungku. Dia selalu ada disaat aku butuh. Aku masih dirindukan. 

Akhirnya karena menjalani semua pelajaran itu setengah hati, aku tak lolos lagi masuk S1 UI. Aku sangat kalut saat itu. Merasa semua orang memaksaku untuk menjalani sesuatu yang tak kusuka. Aku harus masuk FE karena semua kakakku adalah Sarjana Ekonomi. Sementara aku minat sekali di bidang seni. Aku ingin belajar Design. Tapi tak direstui. Akhirnya aku dipaksa mengambil D3 juga. Di bidang komunikasi. 2 hal yang membuatku gila. Yang pertama adalah aku sudah membuang waktuku setahun dan kini aku mengambil D3, kenapa tak bareng dengan teman2 seangkatanku saja?? kemudian hal kedua adalah bidang komunikasi. Aku ini pemalu dan tak bisa menghadapi orang banyak apalagi harus berbicara depan orang banyak. I was crying in my first class. Tapi Rani selalu mendukungku. Aku terus berusaha. Sampai akhirnya nilai Public Speaking ku A sempurna aku yakin mampu menaklukkan bidang komunikasi ini.

Aku mencari pelarian kesenangan aku. Yaitu musik. Aku ikut Marching Band. Aku jadi gila karenanya. Dunia ini mencuci otakku. Aku menemukan orang-orang yang lebih asik dari bersama Rani. Orang-orang yang jago main musik. Aku dibuat menjadi gila karena musik. Kuhabiskan banyak waktuku di sana. Kebersamaan yang ketergantungan, begitu aku mendeskripsikannya sekarang. Aku jadi jarang bertemu dengan Rani. Karena itu mungkin dia marah padaku. Baru sekali itu dia tak mendukung apa yang kulakukan. Dia tak pernah sekalipun menonton aku bermain marching band. Aku tahu dia marah padaku. Ditambah lagi saat dia wisuda, aku tak menghadirinya. Karena apa? Karena aku sedang latihan Marching Band. Walaupun kini aku sangat menyesalinya, aku tak bisa memperbaikinya. Walau kini aku tak ikut Marching Band lagi, aku tak bisa memutar kembali waktu. Aku salah. Aku merasa sangat bersalah.

Aku marah padanya seingatku baru sekali. Soal kisah cintaku.
"Ran, gw nyesel deh putus sama ***** dulu. Lo ga mau bantuin gw balikan lagi? Kayanya cuma dia yang bisa cocok sama gw."

"Enggak lah. Asal tahu aja ya Mal, dulu abis kalian putus dia juga nyeselll banget dan ngerasa bersalah karena udah mutusin lo. Sampe pingin ngajak balikan lagi. Tapi gw bilang aja ga usah, Amalianya udah suka sama cowo lain. Hehee.."

Itu kejadiannya udah 6 tahun setelah putus. Gila, itu aja yang gw marah banget. Tapi yang gw sadari sekarang adalah hal itu bukan apa-apa dibanding keegoisan gw ninggalin dia demi Marching Band. Gw emang jahat sama lo Ran.

Walau akhirnya kita masih sesekali ketemu, kita masih bisa nyebutnya sebagai Quality Time. Janji namatin ketujuh film Harry Potter di bioskop pun punah karena dalam perjalannya kita punya teman-teman baik lain. But, it's fine. Kita tetap sahabat. Begitu kata Rani.

Kini aku dan Rani sudah sibuk dengan dunia kerja. Terakhir kudengar cerita baik darinya adalah dia berpacaran lagi dengan mantannya waktu SMA. Aku sangat bahagia... Sungguh bahagia. Melihat dia ngepost di social media soal pria itu, bagaimana pria itu membahagiakannya. 

Akhirnya Allah membalasku. Aku sulit bertemu Rani. Setiap weekend dia selalu jalan dengan pacarnya dan keluarga pacarnya. Setiap weekdays dia tak bisa dihubungi karena sibuk kerja. Saat aku ingin curhat dengannya dia selalu mengatakan sedang sibuk sekali, tak ada waktu. Saat aku mulai menangis, dia bilang aku jangan cengeng dan harus jadi dewasa. Padahal aku menangis bukan karena merengek seperti anak kecil, tapi aku merindukan pengertian dan kebersamaan dengannya. Saat aku bilang padanya bahwa dia kini terlalu banyak menghabiskan waktu dengan pacarnya, dia berkata:

"Mal, dulu yang lo lakuin pas MB apa? Emang lo punya waktu buat gw? Enggak pernah kan. Sekarang gw baru pacaran berapa bulan lo udah ngomong kaya gini? Gw juga berhak bahagia kali. Kita temenan udah belasan tahun. Boleh dong gw punya kehidupan baru."

Kali itu aku benar-benar menangis. Bahkan menangis lagi ketika mengetik kalimat barusan. Aku memang jahat. Menyisakan dendam yang teramat dalam pada dirinya.

Akhirnya dia mulai menghilang dari hidupku. Tak kontak beberapa bulan. Ulang tahun hanya mengucapkan "Selamat ulang tahun Mal!". Tak ada lagi telepon berdering. Tak ada lagi kabar bahagia yang dia beritahukan padaku sebagai orang pertama, tak ada lagi kabar sedih yang dia ungkapkan, kemudian dia tak hadir untuk silaturahmi saat lebaran, dan di reuni SD dia bahkan mengolok2ku depan teman lainnya dan tidak menggubris kehadiranku. She has no respect of me anymore....

Aku sedih. Ya, aku sedih. ini memang salahku sendiri. Aku terjerumus dalam dunia yang telah merusakku. Merubahku jadi orang yang jahat pada orang yang sangat sayang padaku. Begitupun keluargaku. 

Kesedihanku masih suka terasa saat aku sedang merasa sangat bahagia, tapi tak ada Rani yang bisa aku ceritakan seperti masa-masa dulu. Saat aku memberitahukan segala hal pada dirinya. Saat dia selalu jadi orang pertama yang mengetahui apapun. Begitu juga denganku. Bayangan masa kecil kami yang sedang tertawa bersama saat SD, SMP dan SMA terus berputar dalam kepalaku. Dan sekali lagi, air mata ini mengalir....

Banyak sekali hikmah yang kuambil dari kejadian ini. Yang jelas, walaupun aku pernah se salah itu, tapi aku punya hak untuk memperbaikinya. Kini aku sudah hidup jauh lebih baik tanpa hadirnya. Walau kadang kumerindunya, aku hanya bisa mendoakannya. Aku sudah mengikhlaskan kepergiannya. Semua hikmah yang kudapat, sudah aku bungkus dalam satu tekad kuat untuk bertobat di jalan Allah. Kini aku selalu bersyukur dan mendoakannya, saat kulihat senyum di foto yang dia post. Foto dirinya, foto dia dan calon suaminya, foto dia dan keluarganya, foto dia dengan sahabat barunya. :)

Dia pernah menjadi sahabat terbaikku. Rani. 

Terima kasih, Ran.

Melindungi Kebahagiaan

Pernahkah kau mengalami hal seperti ini?

- Memejamkan mata lalu melihat seseorang yang membuatmu tersenyum
- Kemudian kau menyadari bahwa kehadirannya telah berpengaruh banyak dalam hidupmu
- Dia yang selalu ada bersamamu dalam kurung waktu tertentu
- Kau teringat apa saja yang telah terjadi di antara kalian
- Kau tersenyum bagaimana semua kejadian itu telah membawa hikmah dalam hidupmu
- Merasa begitu indah dan ingin melukiskannya dalam kata-kata
- Namun saat kau mulai menulis kau bingung untuk memulainya dari mana...

Haha.. hal itulah yang sudah seringkali terjadi padaku. 

Mungkin hal inilah yang didefinisikan sebagai berikut:

Semakin dewasa seseorang, semakin ia tak ingin ia mengumbar sesuatu yang ia miliki. Bukan karena tak mensyukurinya atau tak senang memilikinya, melainkan karena hal tersebut terlalu berharga untuk diberitahukan ke orang banyak. Pada dasarnya ia hanya ingin melindungi kebahagiaan itu, agar tak ada orang lain yang mengusiknya dengan hal-hal yang bisa menyakiti kebahagiaan itu. Akan tiba saatnya nanti saat semua dunia tahu kebahagiaan yang dimilikinya. 

Dan lebih menyenangkannya lagi, tidak hanya terjadi pada diriku saja. :)

Menulis, Membuatku Tetap Bernafas



Pagi ini aku membuka mata, teringat lagi bayangan wajah itu. Wajah yang menyejukkanku selama ini. Seketika itu juga aku tersenyum dan kembali tenggelam dalam memeluk guling yang kian erat. Senyumkupun mulai merekah.

Orang itu, pikirku. Ada saja hal yang membuatku ingin larut dalam sebuah tulisan mengenai dirinya. Banyak hal yang telah terjadi selama hampir dua tahun ini dan merubah kehidupanku.

Berbicara tentang tulisan, tiba-tiba aku teringat ada seseorang yang bertanya padaku kenapa aku harus menulis. Kemudian aku berpikir, kenapa aku harus jawab orang itu ya? Kemudian aku tertawa. Ada-ada saja memang. Menjadi selektif akan banyak hal merupakan salah satu hal yang dia ajarkan padaku. Dia di sini bukanlah yang bertanya kenapa aku harus menulis, melainkan dia yang kehadirannya ingin sekali kutulis dalam setiap lembaran kisah hidupku. Lalu apakah DIA jawaban kenapa aku harus menulis? Jika iya, mungkin sebaiknya aku berhenti sampai di sini.

Kemudian aku beranjak dari tempat tidurku. Biasanya aku melanjutkan pagi dengan melakukan jogging. Tapi tidak untuk kali ini, aku memilih menikmati nyamannya kamarku di pagi hari. Bukan karena mager, tapi ini sungguh pagi yang luar biasa di mana paparan pemikiran akan hal yang ingin kulakukan tersaji dalam visiku. Aku mulai membuka laptopku dan mulai mengetik.

Rasanya seperti menghirup udara pagi yang sejuk. Aku bernafas. Setiap jari yang kujentikkan pada hamparan huruf di keyboard ini kian memberikanku oksigen untuk berimajinasi akan kenyataan. Apa itu berimajinasi akan kenyataan? Aku mendefinisikannya sebagai suatu keadaan di mana aku sedang memikirkan kembali apa yang telah terjadi dalam hidupku, mengambil semua hikmah di balik setiap peristiwa baik yang buruk sekalipun, lalu aku hadir kembali di waktu saat ini dan mensyukuri semua hal tersebut sambil penuh keyakinan tahu apa yang akan aku lakukan setelah ini, untuk memperbaiki diri, mengejar cita-cita dan bagaimana menjadi orang yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Semua hal tersebut dilakukan pada saat yang bersamaan. Itulah definisiku akan “berimajinasi akan kenyataan”. Keren ya? Iya, aku memang keren.

Kadang saat aku melangkah sendiri di keramaian, aku bisa melihat orang lain. Justru saat aku ada di tempat asing, aku bisa melihat orang lain sekaligus melihat diriku sendiri. Misalkan saja, ada suatu hari di mana aku pergi ke suatu tempat menggunakan kendaraan umum. Dalam sehari-hari saat aku biasa menggunakan kendaraan pribadi, tapi hari itu aku menuju suatu tempat menggunakan jasa angkutan kereta. Kulangkahkan kakiku ke luar rumah dengan memohon perlindunganNya. Setiap langkah yang kujalani, membawa aku pada pemandangan baru, yang mungkin sering kali luput. Saat menunggu angkutan umum menuju stasiun aku merasa kepanasan di bawah terik matahari. Namun saat aku ingin mengeluh, aku teringat bagaimana dengan mereka yang setiap hari bekerja dengan peluh keringat di bawah terik matahari? Apa mereka mengeluh? Tidak. Mereka menyimpannya dalam doa. Saat panas itu kian membakar kulitku, aku tersenyum. Bukankah ini cara Allah mengingatkan umat manusia bahwa matahari yang bersinar terik ini bukanlah apa-apa dibanding dengan api neraka nanti?

Akhirnya angkutan umum ini membawaku ke stasiun kereta terdekat dari rumahku. Di perjalanan stasiun menuju peron, aku melewati beceknya pasar dan di sudut kulihat orang yang tertidur di atas kardus kotor. Aku sangat bersyukur bisa tidur nyenyak di kasur empukku dan terbangun nyaman pagi tadi. Bagaimana dengan orang yang tidur di kardus tersebut? Bisa jadi orang itu lebih bersyukur karena dia tidak tidur di kolong jembatan.

Keretapun datang. Cukup ramai yang telah menunggu kereta tersebut hingga memungkinkan sekali terjadinya aksi saling mendorong. Kulihat ibu-ibu itu bisa berubah menjadi sangat kasar demi bisa masuk ke dalam kereta tersebut. Ada beberapa ibu paruh baya yang mulai goyah terdorong oleh mereka yang menyeruak masuk tanpa peduli apakah ada dari mereka menyakiti orang lain. Bahkan untuk berusaha mendorong orang lain saja aku tidak, aku pasrah. Dan tahukah kamu, bahwa aku sangat bersyukur karena masih memiliki perasaan seperti itu. Karena aku yakin tak semua orang memilikinya. Bisa jadi juga mereka memilikinya, namun tetap tidak peduli. Bagiku tak perlu memaksa. Hal itu memang yang diajarkan Allah, yaitu tidak menyakiti orang lain dalam usaha mencapai tujuan kita. Mereka yang menaruh keyakinan pada Allah takkan takut untuk bersabar. Tiba-tiba aku teringat sebuah momen saat aku di tanah suci dan ingin sekali mencium hajar aswad. Aku sudah di depan Multazam selama tiga jam, namun begitu penuh dan sesaknya aku yakin akupun tak bergeser mendekat ke arah hajar aswad. Banyak mereka yang mendekat ke arah hajar aswad. Dengan cara apa? Mendorong, menginjak, menyingkirkan orang lain dengan sikut mereka. Kulihat darah di lantai. Sungguh, jika aku tak menaruh keyakinanku akan ajaran Allah untuk tidak menyakiti orang lain, aku pasti sudah melakukan hal yang sama.

Lamunanku itu buyar saat aku mulai memperhatikan orang lain di kereta. Ada mereka yang ingin berangkat ke kantor, ada mereka yang ingin ke sekolah, ada yang mungkin baru saja pulang dari pasar. Pikiranku melayang pada mereka, memikirkan begitu banyak hal yang Allah tunjukkan padaku hanya untuk membuatku sadar dan terus bersyukur.  Kadang Allah juga menunjukkan pada manusia melalui orang lain untuk “jangan pernah seperti itu.”

Derap langkahku mengiringi semua pikiran dan akal sehatku bahwa begitu banyak hal yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata di hadapan orang banyak. Begitu banyak cerita, baik maupun buruk, yang terjadi dalam hidupku dan mungkin dalam hidup orang lain. Cerita-cerita tersebut bisa menjadi inspirasi bagi orang lain untuk belajar dan bersyukur.

Dari kecil, aku sangat senang menulis buku diary. Apa saja yang terjadi dalam hidupku hari itu kutuliskan semua. Sampai bangku SMA aku masih suka menulis. Kisahnya mulai beragam. Kisah cinta, kisah kelelahan latihan basket, kisah pertengkarang dengan orang tua di rumah, kisah cita-cita. Banyak sekali. Bahkan saat SMP, aku pernah menulis di buku tulis kosong sebuah cerita cinta. Sebuah cerita cinta yang menurutku harusnya semanis itu, konfliknya harusnya ada seperti itu, sampai akhirnya bisa seperti ini dan itu. Selama 3 tahun sepanjang SMP aku telah menulis cerita bersambung itu sebanyak lebih dari 30 buku tulis dan hanya kuperbolehkan seorang sahabat terbaikku bernama Rani yang boleh membacanya. Tahukah kalian bahwa saat umurku 25 tahun ini dan aku menonton berbagai kisah FTV mulai dari kisah yang masuk akal sampai tidak dan aku berpikir, “Hahaa.. basi ah. Aku udah pernah kebayang semua ini dan aku tulis dulu!” Mau si cewek buta, cewek kaya dan miskin, tidak direstui orang tua, pindah agama, hamil di luar nikah, suka sama guru, hilang ingatan, mendadak jadi artis, cinta sama sahabat, dan lain-lain. Keren ya aku? Iya aku keren.

Sayangnya hobiku itu tak hanya menulis. Jadi sering sekali ketika beranjak dewasa dan mulai menulis lagi aku sangat mudah terdistrak. Misalnya sedang menulis, karena pegal jadi aku bermain gitar. Atau ketika sudah masuk chapter dua, aku istirahat dengan jalan-jalan. Lalu lupa dan malas. Tapi satu hal yang pasti, saat aku masih menulis, walaupun sedikit, itu berarti aku masih bernafas.

Dan saat ini aku yakin, jika aku bisa menulis lebih banyak lagi, aku tidak hanya tetap bernafas, tapi juga bisa memberikan nafas bagi kehidupan orang lain. Melalui banyak kisah yang patut kita syukuri, mulai dari hal kecil sampai hal besar. Luar biasa apa yang telah diajarkan oleh kehidupan. Aku ingin mengingatkan mereka yang lupa akan banyak hal dalam hidup mereka sendiri melalui tulisanku. Itulah kenapa aku harus menulis dan terus menulis.