Tuesday, September 22, 2015

Hidup Baru

Pernikahan adalah akad dari segala hal bernama kebaikan.

Entah sudah berapa kali aku menuliskan kalimat itu. Sebuah kalimat yang dulu, saat pertama kali kubaca, membawa aku pada harapan besar akan hadirnya seorang imam dalam hidupku.

Akhirnya tiba sudah hari itu.

Hari yang telah kunantikan sekian lama, akhirnya aku tiba juga melangkahkan kaki pada hari itu. Hari pernikahanku.

Bukan jalan yang mudah untuk ditempuh untuk mencapainya, namun tak ada hal tak mungkin jika kita hanya berpasrah akan semua usaha kita kepada Allah semata.

Setelah prosesi ijab kabul semua duniaku serasa berubah. Sempat masih berpikir tak percaya bahwa akhirnya telah menikah dalam beberapa hari ke depan. Perasaanku seakan membuncah tiap kali kuingat momen ijab kabul itu.

TIba-tiba aku melihat sesosok pria yang duduk di sebelahku pagi itu sebagai sosok yang berbeda. Sosok yang luar biasa. Beda dengan dia yang telah aku kenal sejak lama. Rasanya aku seperti jatuh cinta.

Ternyata inilah awal indahnya pacaran seusai pernikahan yang orang-orang maksudkan. Tepat sesusai prosesi ijab kabul, aku mendengar suamiku menoleh ke arahku seraya membisikkan "assalamualaikum, istri.". Belum sempat aku menoleh untuk menjawabnya, rasanya kebahagiaan lain bertubi-tubi menghampiri diriku. Aku hanya bisa tersenyum dan berucap alhamdulillah sesering mungkin.

Setelah aku merasakan jatuh cinta pada dirinya untuk pertama kali, akupun bisa merasakan kebaikan dalam dirinya. Tanpa hal-hal yang sering dirasakan oleh kebanyakan orang yang sudah terlebih dahulu pacaran. Perasaan seperti cemburu, digantungin, PHP, baper, galau dan lainnya tak kurasakan sama sekali. Aku hanya merasakan dia yang membalas cintaku dengan penuh kasih sayang, dia yang berkata sayang setiap hari, dia yang dengan sabar membimbingku, dia yang tak pernah memarahiku jika aku salah, dia yang selalu mengajakku untuk selalu lebih dekat pada sang pencipta. Dialah suamiku.

Alhamdulillah, perasaanku kini sungguh tak terkira. Sekarang hanya bagaimana aku bisa menjadi istri yang sholeha untuk imam terbaikku. Aku akan terus belajar untuk bahagia bersamanya. Karena aku telah menyadari betapa Allah telah memberikan aku hadiah terindah yang bisa aku terima untuk membimbingku menjalani hidup baruku. Terima kasih ya Allah. :')

I love you, suamiku.

Sunday, September 6, 2015

H-6


H-6

Menuju hari besar dalam hidupku.

Hari yang selalu ditunggu-tunggu, akhirnya datang juga menghampiri. Aku akan menikah dengan pria yang Allah kirimkan untukku. Tepat pada waktu-Nya. Jawaban atas segala doa-doaku yang selalu kupanjatkan dalam penantian akan jodoh. Semoga benar dialah jodohku di dunia dan di akhirat kelak.

Bersamanya aku akan meraih pintu surga, melalui pengabdianku menjadi seorang istri yang sholehah. Aamiin..

R. Namanya R. Orang yang hadirnya secara tiba-tiba dalam hidupku. Orang yang hadir saat aku tak butuh akan cinta dan muak akan kisah cinta. Seperti yang kupanjatkan dalam doa, bahwa aku memohon pada Allah untuk meredakan perasaanku untuk suatu hal bernama cinta. Ibarat handphone, aku minta Allah untuk menonaktifkannya. Dan sesaat setelah aku berdoa demikian (benar-benar sesaat) itulah kali pertama aku berkenalan dengannya.

Kalau diingat-ingat, ternyata sudah 2,5 tahun aku mengenalnya. 1 tahun terakhir kami isi dengan persiapan pernikahan kami. 1 tahun sebelumnya lagi adalah masa penjajakan kami sementara setengah bulan sebelumnya kami membuka diri akan sifat-sifat kami. Tak terasa.

Namun tak mudah, sungguh tak mudah. Memahami orang lain dengan segala hal yang ada pada dirinya sementara kita berharap dan terus berdoa apakah dia jodohku? Semoga dia jodohku.

Semua doa dan kebimbangan akan jodoh di awal pertemuan dengannya berubah menjadi satu konsep bagi kami. Yaitu kami ingin sama-sama berusaha memantaskan diri.

Kamu mau jodoh yang baik? Ya kamu harus menjadi baik.
Bagaimana bisa kamu merasa pantas untuk mendapatkan jodoh yang baik sementara kamu biasa-biasa saja atau bahkan buruk, sementara Allah itu maha adil.

Berlandaskan konsep itu kami sama-sama memantaskan diri. Bukan untuk dia dan bukan untuk aku. Tapi kami memantaskan diri untuk jodoh kami kelak. Jika kami sudah baik dan pantas mendapatkan jodoh yang baik, bukan tidak mungkin dengan doa dan harapan penuh pada Allah maka Allah membuat kami saling jatuh cinta. Jatuh cinta karena Allah pastinya.

Aku tidak mengatakan bahwa kami sudah sama-sama sangat baik, namun aku mengatakan bahwa pada akhirnya Allah memberi jalan pada kami yang bertekad memperbaiki karena Allah. Aku yakin semua terjadi atas seizin-Nya.

Yang harus dilakukan saat ini  adalah bersyukur. Bersyukur karena Allah telah memberikan jawaban atas segala doa selama ini. Bersyukur karena dengan kelebihan pasangan yang kita miliki, kita menyadari bahwa Allah begitu hebat menciptakan makhluk-Nya. Bersyukur juga dengan kekurangan yang dimiliki pasangan kita, karena dengan itu semua Allah menguji kesabaran kita. Semua akan ada hikmah-Nya, baik yang telah kita sadari saat ini maupun yang belum kita sadari nanti.

Semoga hari H kelak berjalan lancar. Aamiin… 

Ternyata rasanya deg-degan juga ya?? :D

Monday, June 15, 2015

Lamunanku

Hari demi hari. Rasanya semakin dekat dengan kematian.
Banyak fase dalam hidup ini yang belum aku lewati.
Menikah. Hamil. Melahirkan. Membesarkan buah hati. Patuh selamanya pada suami. Hingga kematian datang menjemput.
Kematian adalah satu hal yang pasti. Seberapa cerdik kau sembunyikan dirimu dari kematian, tetap saja ia akan datang menjemputmu bila telah habis waktumu. Semua hanya masalah nomor antrian saja.

Menikah.
Mungkin hal ini yang paling dekat dengan hidupku saat ini, secara pengetahuanku. Karena akupun tak tahu kapan kematian akan datang menjemputku. Bisa saja aku belum merasakan pernikahan saat ajal menghampiriku. Namun, tentunya aku selalu berdoa pada Allah agar aku diberikan kesempatan untuk bisa merasakannya dengan orang yang akan menjadi jodohku.

Menjelang pernikahan tentunya ada banyak sekali hal yang perlu dipersiapkan.
Materi. Pasti. Hal ini adalah hal nyata yang harus kami ke luarkan untuk mewujudkan pesta pernikahan kami.
Fisik. Kami juga menyadari betapa fisik sangat penting untuk kebahagiaan kami ke depannya. Sebisa mungkin menjaga kesehatan dan memohon pada Allah agar selalu dilindungi dari segala penyakit.
Mental. Tentunya sudah kami persiapkan dalam menghadapi pernikahan ini. Bukan hanya tentang komunikasi, kesabaran dan keikhlasan. Namun jauh di dalamnya ada hal yang tak bisa dilukiskan dalam pernikahan namun wajib sekali untuk dipahami. Terlebih lagi karena kita sudah diberikan nikmat iman dan Islam yang tiada tara dari Allah.

Artikel yang kubaca siang ini membawa aku pada lamunan indah atas kisahku dengan dirinya.


Komunikasi

Saat ini aku tengah menyadari betapa pentingnya kuliah komunikasi yang telah aku jalani 6 tahun yang lalu. Mungkin banyak orang yang menganggap bahwa kuliah komunikasi bukanlah hal yang penting. Toh semua orang "bisa ngomong". Oke, semua orang memang bisa berbicara. Tapi apakah semua orang mampu berbicara dengan baik dan benar? Terlebih lagi saat mereka menyampaikan maksud dan tujuan mereka.

Aku berbicara seperti ini bukan karena aku sudah level dewa dalam komunikasi. Aku juga masih terus belajar. Selepas dari kuliah, aku juga masih kerap kali salah berbicara bahkan sampai menimbulkan pertengkaran. Aku tiba-tiba teringat pentingnya semua komunikasi itu karena siang ini di saat aku tengah berbalas e-mail dengan seseorang di sebuah perusahaan ternama berlevel multinasional, aku menerima e-mail yang tidak enak.

Padahal dia hanya menulis "resend".

Tapi aku merasa itu bukanlah hal yang pantas. Sebaiknya ia mengingatkan kembali bahwa aku sudah melewatkan untuk membalas e-mail sebelumnya yang telah ia berikan. Bukan hanya dengan menulis "resend". Masalahnya selain menanyakan sesuatu hal, dia juga memintaku menyiapkan berbagai hal yang ia butuhkan. Kemudian dalam sekejap aku menyiapkan dokumen-dokumen yang ia butuhkan. HANYA SAJA aku lupa menjawab satu pertanyaannya.

Alih-alih membalas dengan terima kasih atas dokumennya terlebih dahulu, lalu mengingatkan bahwa saya belum menjawab pertanyaan yang dia butuhkan, dia malah langsung "resend".

Haha di sini saya marah. Sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi komunikasi yang jelas, saya tidak terima.

Ya sudahlah. Maaf ini benar-benar curhat dan menumpahkan kekesalan saya saja.
Ini aja ditulis di warnet. hehehe

Saturday, February 7, 2015

First Day of My Life


Hari ini aku merasa sangat bahagia. Ribuan kata yang biasanya ingin aku keluarkan tadi hilang entah ditelan apa. Rasanya tak bisa berkata apa-apa. Kata demi kata kudengar dari mulutnya. Saat ia duduk di seberang sana mengutarakan maksudnya. Bukan di hadapanku, melainkan di hadapan seluruh keluargaku. Aku tak berani menengadahkan pandanganku.

Seketika itu juga perasaanku bagai luruh. Namun bukan hilang begitu saja tak berbekas, melainkan meninggalkan bekas baru pada perasaanku. Sesuatu yang rasanya begitu indah dan pantas. Sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya akan begitu indahnya. Sungguh akupun tak tahu apa yang telah mengalir dalam diriku saat itu.

Bahkan aku tak berani menatap matanya. Padahal biasanya aku bisa berlama-lama menikmati indah wajah dan senyuman hangatnya. Saat itu aku merasa berdosa. Betapa tidak sopannya perlakuanku padanya selama ini. Aku teringat pernah suatu kali dia berkata, “Ngapain sih ngeliatin gitu? Gak sopan tau!” ternyata inilah yang ia maksud. Aku langsung merasa malu dan tak berani mengangkat wajahku.

Seharusnya dari dulu aku lebih mampu menjaga pandanganku. Aku harus mampu mengendalikan hasratku. Dia yang telah datang dalam hidupku tak semata-mata dengan tangan kosong. Namun, Allah telah memutuskan kehadirannya dalam hidupku untuk membawa suatu kebaikan.

Betapa aku sangat menyadari bahwa dia telah datang menawarkan kebaikan padaku dengan segala caranya sendiri. Entah ada yang aku lewatkan, aku abaikan atau aku sadari. Dalam sekejap hari ini aku makin menyadari bahwa apa yang dia katakan dari dulu adalah apa yang dia harapkan bagiku.

Aku hanya bisa tertunduk penuh syukur. Terima kasih ya Allah. Atas izinMu, semua hal baik ini terjadi. Dia mengkhitbahku.