Ada seorang sahabat gw yang bercerita bahwa dia baru saja putus dengan pacarnya. Hubungan mereka sudah terjalin 6 tahun. Sahabatku, sebut saja Rani, sangat sedih. Dia menceritakan bahwa pacarnya, sebut saja Dika, menghampirinya dan berkata:
"Aku udah ga nyaman sama kamu, aku udah ga sayang sama kamu, hubungan kita udah berasa hambar buat aku, aku ga ngerasain kaya yang dulu-dulu lagi. Aku rasa mulai saat ini kita resmi putus."
Sahabatku terkejut, dia tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia begitu menghadapinya dengan dewasa. Baginya tak ada gunanya jika ia terus saja memaksakan hubungan mereka berdua, karena intinya adalah Dika tidak sayang lagi pada dirinya. Apa yang harus diperjuangkan?
Yang begitu menyesakkan Rani adalah bahwa dirinya telah sangat mengenal Dika, jauh melebihi Dika mengenal dirinya sendiri. Rani tahu apa yang Dika suka, apa yang tidak Dika suka, kapan Dika mau apa, kenapa Dika bersikap bagaimana, Rani tahu semuanya.
Dika yang dulu dikenalnya sejak bangku SMA adalah anak yang introvert dan tidak punya banyak teman. Hobinya dulu adalah ngeband dengan aliran musik punk, metal dan sebagainya. Dika bukanlah anak yang pintar di sekolah.
Kini, saat Dika telah beranjak menjadi Dika yang lain. Dika yang move on banget, begitu Rani menyebutnya. Dika kini sudah lulus kuliah di Perguruan Tinggi Negeri ternama dan berhasil kerja di salah satu perusahaan besar, bahkan dirinya akan segera dipindahtugaskan ke negara lain. Dika kini menjadi orang yang extrovert, memiliki banyak teman dan senang bergaul dengan siapa saja.
Mengapa ketika dia begitu sukses meniti hidupnya dia justru meninggalkan Rani? Itulah yang membuat Rani bingung. Dan yang menyesakkan dan begitu membuat Rani sedih adalah ketika dia tahu bahwa dirinya tak lagi bisa bersama Dika bukan karena Dika memiliki wanita lain, melainkan karena Dika memang sudah tak ada rasa dengan dirinya. Itu lebih tak bisa ia terima.
Hari demi hari, galau melanda. Namun Rani begitu tabah dan dewasa menghadapi semua ini. Hingga akhirnya dia tak tahu lagi harus berbuat apa, dia akhirnya bercerita kepada adiknya yang masih duduk di kelas 3 SMP. Masa remaja labil, begitu kira-kira. Sebut saja adiknya adalah Sandra.
Rani : Sandra, kak Dika jahat ya sama kakak? huhuhuu
Sandra : Hmm gimana ya kak? aku sih ga mau bilang kak Dika jahat. Namanya juga manusia kan kak, selalu mencari yang terbaik. Berarti kakak bukan yang terbaik-nya kak Dika.
Detik itu juga Rani tersadar, bahwa omongan adiknya yang selama ini dia anggap omongan anak kecil akhirnya membuatnya tertampar juga. Bahkan dia yakin benar bahwa Sandra sendiri tidak begitu paham arti omongan dia. betapa menyakitkannya keadaan sebenarnya.
Ranipun akhirnya berpikir bahwa kita tidak pernah sekalipun berpikir bahwa mungkin bukan dia yang bukan terbaik buat kita, melainkan kitalah yang bukan terbaik buat mereka. Itu benar.
Kisah ini jauh lebih memilukan dibanding kisah perselingkuhan pacarku dengan sahabatku, katanya. Dan ia mengingatkan, bahwa kisah kami sangat tidak seberapa dibanding kisah temannya yang kehilangan calon suaminya seminggu sebelum resepsi pernikahan mereka setelah mereka menikah 3 bulan, dan esok hari setelah temannya itu mendapati suaminya tewas karena kecelakaan, ia baru mengetahui bahwa dirinya hamil. Ini sangat menyedihkan.
Dan intinya begitu banyak kisah menyedihkan lainnya yang akan sangat membuat kita banyak mensyukuri apa yang telah terjadi pada kita meskipun itu menyakitkan.
Cheer up Girl! :)