Monday, October 6, 2014

Menulis, Membuatku Tetap Bernafas



Pagi ini aku membuka mata, teringat lagi bayangan wajah itu. Wajah yang menyejukkanku selama ini. Seketika itu juga aku tersenyum dan kembali tenggelam dalam memeluk guling yang kian erat. Senyumkupun mulai merekah.

Orang itu, pikirku. Ada saja hal yang membuatku ingin larut dalam sebuah tulisan mengenai dirinya. Banyak hal yang telah terjadi selama hampir dua tahun ini dan merubah kehidupanku.

Berbicara tentang tulisan, tiba-tiba aku teringat ada seseorang yang bertanya padaku kenapa aku harus menulis. Kemudian aku berpikir, kenapa aku harus jawab orang itu ya? Kemudian aku tertawa. Ada-ada saja memang. Menjadi selektif akan banyak hal merupakan salah satu hal yang dia ajarkan padaku. Dia di sini bukanlah yang bertanya kenapa aku harus menulis, melainkan dia yang kehadirannya ingin sekali kutulis dalam setiap lembaran kisah hidupku. Lalu apakah DIA jawaban kenapa aku harus menulis? Jika iya, mungkin sebaiknya aku berhenti sampai di sini.

Kemudian aku beranjak dari tempat tidurku. Biasanya aku melanjutkan pagi dengan melakukan jogging. Tapi tidak untuk kali ini, aku memilih menikmati nyamannya kamarku di pagi hari. Bukan karena mager, tapi ini sungguh pagi yang luar biasa di mana paparan pemikiran akan hal yang ingin kulakukan tersaji dalam visiku. Aku mulai membuka laptopku dan mulai mengetik.

Rasanya seperti menghirup udara pagi yang sejuk. Aku bernafas. Setiap jari yang kujentikkan pada hamparan huruf di keyboard ini kian memberikanku oksigen untuk berimajinasi akan kenyataan. Apa itu berimajinasi akan kenyataan? Aku mendefinisikannya sebagai suatu keadaan di mana aku sedang memikirkan kembali apa yang telah terjadi dalam hidupku, mengambil semua hikmah di balik setiap peristiwa baik yang buruk sekalipun, lalu aku hadir kembali di waktu saat ini dan mensyukuri semua hal tersebut sambil penuh keyakinan tahu apa yang akan aku lakukan setelah ini, untuk memperbaiki diri, mengejar cita-cita dan bagaimana menjadi orang yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Semua hal tersebut dilakukan pada saat yang bersamaan. Itulah definisiku akan “berimajinasi akan kenyataan”. Keren ya? Iya, aku memang keren.

Kadang saat aku melangkah sendiri di keramaian, aku bisa melihat orang lain. Justru saat aku ada di tempat asing, aku bisa melihat orang lain sekaligus melihat diriku sendiri. Misalkan saja, ada suatu hari di mana aku pergi ke suatu tempat menggunakan kendaraan umum. Dalam sehari-hari saat aku biasa menggunakan kendaraan pribadi, tapi hari itu aku menuju suatu tempat menggunakan jasa angkutan kereta. Kulangkahkan kakiku ke luar rumah dengan memohon perlindunganNya. Setiap langkah yang kujalani, membawa aku pada pemandangan baru, yang mungkin sering kali luput. Saat menunggu angkutan umum menuju stasiun aku merasa kepanasan di bawah terik matahari. Namun saat aku ingin mengeluh, aku teringat bagaimana dengan mereka yang setiap hari bekerja dengan peluh keringat di bawah terik matahari? Apa mereka mengeluh? Tidak. Mereka menyimpannya dalam doa. Saat panas itu kian membakar kulitku, aku tersenyum. Bukankah ini cara Allah mengingatkan umat manusia bahwa matahari yang bersinar terik ini bukanlah apa-apa dibanding dengan api neraka nanti?

Akhirnya angkutan umum ini membawaku ke stasiun kereta terdekat dari rumahku. Di perjalanan stasiun menuju peron, aku melewati beceknya pasar dan di sudut kulihat orang yang tertidur di atas kardus kotor. Aku sangat bersyukur bisa tidur nyenyak di kasur empukku dan terbangun nyaman pagi tadi. Bagaimana dengan orang yang tidur di kardus tersebut? Bisa jadi orang itu lebih bersyukur karena dia tidak tidur di kolong jembatan.

Keretapun datang. Cukup ramai yang telah menunggu kereta tersebut hingga memungkinkan sekali terjadinya aksi saling mendorong. Kulihat ibu-ibu itu bisa berubah menjadi sangat kasar demi bisa masuk ke dalam kereta tersebut. Ada beberapa ibu paruh baya yang mulai goyah terdorong oleh mereka yang menyeruak masuk tanpa peduli apakah ada dari mereka menyakiti orang lain. Bahkan untuk berusaha mendorong orang lain saja aku tidak, aku pasrah. Dan tahukah kamu, bahwa aku sangat bersyukur karena masih memiliki perasaan seperti itu. Karena aku yakin tak semua orang memilikinya. Bisa jadi juga mereka memilikinya, namun tetap tidak peduli. Bagiku tak perlu memaksa. Hal itu memang yang diajarkan Allah, yaitu tidak menyakiti orang lain dalam usaha mencapai tujuan kita. Mereka yang menaruh keyakinan pada Allah takkan takut untuk bersabar. Tiba-tiba aku teringat sebuah momen saat aku di tanah suci dan ingin sekali mencium hajar aswad. Aku sudah di depan Multazam selama tiga jam, namun begitu penuh dan sesaknya aku yakin akupun tak bergeser mendekat ke arah hajar aswad. Banyak mereka yang mendekat ke arah hajar aswad. Dengan cara apa? Mendorong, menginjak, menyingkirkan orang lain dengan sikut mereka. Kulihat darah di lantai. Sungguh, jika aku tak menaruh keyakinanku akan ajaran Allah untuk tidak menyakiti orang lain, aku pasti sudah melakukan hal yang sama.

Lamunanku itu buyar saat aku mulai memperhatikan orang lain di kereta. Ada mereka yang ingin berangkat ke kantor, ada mereka yang ingin ke sekolah, ada yang mungkin baru saja pulang dari pasar. Pikiranku melayang pada mereka, memikirkan begitu banyak hal yang Allah tunjukkan padaku hanya untuk membuatku sadar dan terus bersyukur.  Kadang Allah juga menunjukkan pada manusia melalui orang lain untuk “jangan pernah seperti itu.”

Derap langkahku mengiringi semua pikiran dan akal sehatku bahwa begitu banyak hal yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata di hadapan orang banyak. Begitu banyak cerita, baik maupun buruk, yang terjadi dalam hidupku dan mungkin dalam hidup orang lain. Cerita-cerita tersebut bisa menjadi inspirasi bagi orang lain untuk belajar dan bersyukur.

Dari kecil, aku sangat senang menulis buku diary. Apa saja yang terjadi dalam hidupku hari itu kutuliskan semua. Sampai bangku SMA aku masih suka menulis. Kisahnya mulai beragam. Kisah cinta, kisah kelelahan latihan basket, kisah pertengkarang dengan orang tua di rumah, kisah cita-cita. Banyak sekali. Bahkan saat SMP, aku pernah menulis di buku tulis kosong sebuah cerita cinta. Sebuah cerita cinta yang menurutku harusnya semanis itu, konfliknya harusnya ada seperti itu, sampai akhirnya bisa seperti ini dan itu. Selama 3 tahun sepanjang SMP aku telah menulis cerita bersambung itu sebanyak lebih dari 30 buku tulis dan hanya kuperbolehkan seorang sahabat terbaikku bernama Rani yang boleh membacanya. Tahukah kalian bahwa saat umurku 25 tahun ini dan aku menonton berbagai kisah FTV mulai dari kisah yang masuk akal sampai tidak dan aku berpikir, “Hahaa.. basi ah. Aku udah pernah kebayang semua ini dan aku tulis dulu!” Mau si cewek buta, cewek kaya dan miskin, tidak direstui orang tua, pindah agama, hamil di luar nikah, suka sama guru, hilang ingatan, mendadak jadi artis, cinta sama sahabat, dan lain-lain. Keren ya aku? Iya aku keren.

Sayangnya hobiku itu tak hanya menulis. Jadi sering sekali ketika beranjak dewasa dan mulai menulis lagi aku sangat mudah terdistrak. Misalnya sedang menulis, karena pegal jadi aku bermain gitar. Atau ketika sudah masuk chapter dua, aku istirahat dengan jalan-jalan. Lalu lupa dan malas. Tapi satu hal yang pasti, saat aku masih menulis, walaupun sedikit, itu berarti aku masih bernafas.

Dan saat ini aku yakin, jika aku bisa menulis lebih banyak lagi, aku tidak hanya tetap bernafas, tapi juga bisa memberikan nafas bagi kehidupan orang lain. Melalui banyak kisah yang patut kita syukuri, mulai dari hal kecil sampai hal besar. Luar biasa apa yang telah diajarkan oleh kehidupan. Aku ingin mengingatkan mereka yang lupa akan banyak hal dalam hidup mereka sendiri melalui tulisanku. Itulah kenapa aku harus menulis dan terus menulis. 

1 comment: