Pagi
ini aku membuka mata, teringat lagi bayangan wajah itu. Wajah yang
menyejukkanku selama ini. Seketika itu juga aku tersenyum dan kembali tenggelam
dalam memeluk guling yang kian erat. Senyumkupun mulai merekah.
Orang
itu, pikirku. Ada saja hal yang membuatku ingin larut dalam sebuah tulisan
mengenai dirinya. Banyak hal yang telah terjadi selama hampir dua tahun ini dan
merubah kehidupanku.
Berbicara
tentang tulisan, tiba-tiba aku teringat ada seseorang yang bertanya padaku
kenapa aku harus menulis. Kemudian aku berpikir, kenapa aku harus jawab orang
itu ya? Kemudian aku tertawa. Ada-ada saja memang. Menjadi selektif akan banyak
hal merupakan salah satu hal yang dia ajarkan padaku. Dia di sini bukanlah yang
bertanya kenapa aku harus menulis, melainkan dia yang kehadirannya ingin sekali
kutulis dalam setiap lembaran kisah hidupku. Lalu apakah DIA jawaban kenapa aku
harus menulis? Jika iya, mungkin sebaiknya aku berhenti sampai di sini.
Kemudian
aku beranjak dari tempat tidurku. Biasanya aku melanjutkan pagi dengan
melakukan jogging. Tapi tidak untuk kali ini, aku memilih menikmati nyamannya
kamarku di pagi hari. Bukan karena mager,
tapi ini sungguh pagi yang luar biasa di mana paparan pemikiran akan hal yang
ingin kulakukan tersaji dalam visiku. Aku mulai membuka laptopku dan mulai mengetik.
Rasanya
seperti menghirup udara pagi yang sejuk. Aku bernafas. Setiap jari yang
kujentikkan pada hamparan huruf di keyboard
ini kian memberikanku oksigen untuk berimajinasi akan kenyataan. Apa itu
berimajinasi akan kenyataan? Aku mendefinisikannya sebagai suatu keadaan di
mana aku sedang memikirkan kembali apa yang telah terjadi dalam hidupku,
mengambil semua hikmah di balik setiap peristiwa baik yang buruk sekalipun,
lalu aku hadir kembali di waktu saat ini dan mensyukuri semua hal tersebut
sambil penuh keyakinan tahu apa yang akan aku lakukan setelah ini, untuk
memperbaiki diri, mengejar cita-cita dan bagaimana menjadi orang yang bisa
memberikan manfaat bagi orang lain. Semua hal tersebut dilakukan pada saat yang
bersamaan. Itulah definisiku akan “berimajinasi akan kenyataan”. Keren ya? Iya,
aku memang keren.
Kadang
saat aku melangkah sendiri di keramaian, aku bisa melihat orang lain. Justru
saat aku ada di tempat asing, aku bisa melihat orang lain sekaligus melihat
diriku sendiri. Misalkan saja, ada suatu hari di mana aku pergi ke suatu tempat
menggunakan kendaraan umum. Dalam sehari-hari saat aku biasa menggunakan
kendaraan pribadi, tapi hari itu aku menuju suatu tempat menggunakan jasa
angkutan kereta. Kulangkahkan kakiku ke luar rumah dengan memohon
perlindunganNya. Setiap langkah yang kujalani, membawa aku pada pemandangan
baru, yang mungkin sering kali luput. Saat menunggu angkutan umum menuju
stasiun aku merasa kepanasan di bawah terik matahari. Namun saat aku ingin
mengeluh, aku teringat bagaimana dengan mereka yang setiap hari bekerja dengan
peluh keringat di bawah terik matahari? Apa mereka mengeluh? Tidak. Mereka
menyimpannya dalam doa. Saat panas itu kian membakar kulitku, aku tersenyum.
Bukankah ini cara Allah mengingatkan umat manusia bahwa matahari yang bersinar
terik ini bukanlah apa-apa dibanding dengan api neraka nanti?
Akhirnya
angkutan umum ini membawaku ke stasiun kereta terdekat dari rumahku. Di
perjalanan stasiun menuju peron, aku melewati beceknya pasar dan di sudut
kulihat orang yang tertidur di atas kardus kotor. Aku sangat bersyukur bisa
tidur nyenyak di kasur empukku dan terbangun nyaman pagi tadi. Bagaimana dengan
orang yang tidur di kardus tersebut? Bisa jadi orang itu lebih bersyukur karena
dia tidak tidur di kolong jembatan.
Keretapun
datang. Cukup ramai yang telah menunggu kereta tersebut hingga memungkinkan
sekali terjadinya aksi saling mendorong. Kulihat ibu-ibu itu bisa berubah
menjadi sangat kasar demi bisa masuk ke dalam kereta tersebut. Ada beberapa ibu
paruh baya yang mulai goyah terdorong oleh mereka yang menyeruak masuk tanpa
peduli apakah ada dari mereka menyakiti orang lain. Bahkan untuk berusaha
mendorong orang lain saja aku tidak, aku pasrah. Dan tahukah kamu, bahwa aku
sangat bersyukur karena masih memiliki perasaan seperti itu. Karena aku yakin
tak semua orang memilikinya. Bisa jadi juga mereka memilikinya, namun tetap
tidak peduli. Bagiku tak perlu memaksa. Hal itu memang yang diajarkan Allah,
yaitu tidak menyakiti orang lain dalam usaha mencapai tujuan kita. Mereka yang
menaruh keyakinan pada Allah takkan takut untuk bersabar. Tiba-tiba aku
teringat sebuah momen saat aku di tanah suci dan ingin sekali mencium hajar
aswad. Aku sudah di depan Multazam selama tiga jam, namun begitu penuh dan
sesaknya aku yakin akupun tak bergeser mendekat ke arah hajar aswad. Banyak
mereka yang mendekat ke arah hajar aswad. Dengan cara apa? Mendorong,
menginjak, menyingkirkan orang lain dengan sikut mereka. Kulihat darah di
lantai. Sungguh, jika aku tak menaruh keyakinanku akan ajaran Allah untuk tidak
menyakiti orang lain, aku pasti sudah melakukan hal yang sama.
Lamunanku
itu buyar saat aku mulai memperhatikan orang lain di kereta. Ada mereka yang
ingin berangkat ke kantor, ada mereka yang ingin ke sekolah, ada yang mungkin
baru saja pulang dari pasar. Pikiranku melayang pada mereka, memikirkan begitu
banyak hal yang Allah tunjukkan padaku hanya untuk membuatku sadar dan terus
bersyukur. Kadang Allah juga
menunjukkan pada manusia melalui orang lain untuk “jangan pernah seperti itu.”
Derap
langkahku mengiringi semua pikiran dan akal sehatku bahwa begitu banyak hal
yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata di hadapan orang banyak. Begitu
banyak cerita, baik maupun buruk, yang terjadi dalam hidupku dan mungkin dalam
hidup orang lain. Cerita-cerita tersebut bisa menjadi inspirasi bagi orang lain
untuk belajar dan bersyukur.
Dari
kecil, aku sangat senang menulis buku diary.
Apa saja yang terjadi dalam hidupku hari itu kutuliskan semua. Sampai
bangku SMA aku masih suka menulis. Kisahnya mulai beragam. Kisah cinta, kisah
kelelahan latihan basket, kisah pertengkarang dengan orang tua di rumah, kisah
cita-cita. Banyak sekali. Bahkan saat SMP, aku pernah menulis di buku tulis
kosong sebuah cerita cinta. Sebuah cerita cinta yang menurutku harusnya semanis
itu, konfliknya harusnya ada seperti itu, sampai akhirnya bisa seperti ini dan
itu. Selama 3 tahun sepanjang SMP aku telah menulis cerita bersambung itu
sebanyak lebih dari 30 buku tulis dan hanya kuperbolehkan seorang sahabat terbaikku
bernama Rani yang boleh membacanya. Tahukah kalian bahwa saat umurku 25 tahun
ini dan aku menonton berbagai kisah FTV mulai dari kisah yang masuk akal sampai
tidak dan aku berpikir, “Hahaa.. basi ah. Aku udah pernah kebayang semua ini
dan aku tulis dulu!” Mau si cewek buta, cewek kaya dan miskin, tidak direstui
orang tua, pindah agama, hamil di luar nikah, suka sama guru, hilang ingatan,
mendadak jadi artis, cinta sama sahabat, dan lain-lain. Keren ya aku? Iya aku
keren.
Sayangnya
hobiku itu tak hanya menulis. Jadi sering sekali ketika beranjak dewasa dan
mulai menulis lagi aku sangat mudah terdistrak. Misalnya sedang menulis, karena
pegal jadi aku bermain gitar. Atau ketika sudah masuk chapter dua, aku
istirahat dengan jalan-jalan. Lalu lupa dan malas. Tapi satu hal yang pasti,
saat aku masih menulis, walaupun sedikit, itu berarti aku masih bernafas.
Dan
saat ini aku yakin, jika aku bisa menulis lebih banyak lagi, aku tidak hanya
tetap bernafas, tapi juga bisa memberikan nafas bagi kehidupan orang lain.
Melalui banyak kisah yang patut kita syukuri, mulai dari hal kecil sampai hal
besar. Luar biasa apa yang telah diajarkan oleh kehidupan. Aku ingin
mengingatkan mereka yang lupa akan banyak hal dalam hidup mereka sendiri
melalui tulisanku. Itulah kenapa aku harus menulis dan terus menulis.
Keep writing then! Ditunggu buku FTV-nya, Mal :))
ReplyDelete