"You don't know what it's like..."
"I know how does it feel.."
"NO.. absolutely not. You are not me."
Ya. Tak ada seorang lainpun yang bisa merasakan apa yang kita rasakan. Terlebih sebuah kesedihan.
Apa aku sedang bersedih? Bisa dikatakan ya, bisa juga tidak. Ya, karena memang menyedihkan. Tidak, karena aku sudah mengikhlaskannya.
Aku punya sahabat. Dulu. Aku tak mudah mengatakan seseorang sebagai "sahabat". Karena bagiku sahabat bukanlah seseorang yang sering bersama kita, menghabiskan waktu dengan kita, nyambung kalau ngobrol, asik diajak main. Sahabat itu lebih menjadi seseorang yang bahkan kadang lebih mengenal diri kita daripada diri kita sendiri, lebih bisa mengerti diri kita dibanding ego kita sendiri, tahu tidak hanya apa yang kita mau, tapi apa yang kita butuhkan, seseorang yang tidak hanya memuji keberhasilan kita, tapi juga menampar kita saat kita bodoh. Seseorang yang tak berniat sama sekali mengubah kita menjadi orang lain, tapi selalu mendukung kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tak perlu dibayar dengan apapun, karena kebersamaan kita merupakan sesuatu yang sangat berharga.
Aku punya satu orang sahabat. Namanya Rani Sofiani. Panggilannya Rani. Rumahnya di Ragunan. Aku pernah sayang sekali dengan dia. Kebersamaan kami sudah 20 tahun. Apa rasanya? Sulit sekali dijelaskan dengan kata-kata.
Kira-kira apa saja yang sudah terjadi selama 20 tahun? Sungguh begitu banyak.
Perkenalan kami saat kelas 1 SD merupakan perkenalan yang tidak disengaja. Kami sedang bermain petak umpet dengan beberapa anak baru lain yang kamipun tak saling mengenal. Tak sengaja aku bertemu dia saat bersembunyi di masjid sekolah. Di situ lah kami saling mengenalkan diri. Setelah kembali ke kelaspun kami menyadari bahwa sedari pagi tadi kami sudah duduk di meja yang berdekatan.
6 tahun di SD dia selalu menjadi teman baikku.
Kini kami telah melanjutkan sekolah di SMP yang sama. Namun tak lagi sekelas. Untuk memudahkan bertukar cerita atas yang kami alami selama SMP itu kami menciptakan sebuah buku curhat. Khusus hanya untuk kami berdua dan hanya kami yang boleh membacanya. Kami menyebutnya BuCur (Buku Curhat). Buku itu selalu berpindah tangan kami secara bergantian setiap hari. Oleh sebab itu, setiap di rumah pulang sekolah kami saling mengetahui kabar kami hari itu dan akan kami tulis kembali feedback sebagai masukan atau saran atas masalah dan kejadian yang dihadapi hari itu. Hal itu kami lakukan karena tak mungkin rasanya kami saling ketemuan di sekolah, sementara beda kelas beda tugas beda kesibukan. Kemudian tak mungkin juga telponan di rumah berlama-lama. Bisa mahal bayar teleponnya.. hehe.
Semua ceritaku dia mengetahuinya. Semua metamorfosaku ada dia di dalamnya. Dia benar-benar teman terbaikku. Banyak kisah yang dituangkan dalam buku itu. Misalnya naksir senior, dilabrak kakak kelas gara2 disukai cowok ganteng di sekolah, ekskul drum band yang menyenangkan tapi menguras waktu sekali, guru2 yang baik dan jahat, kisah keluarga di rumah, ah terlalu banyak! Hingga kami lulus SMP sekitar 30 BuCur sudah kami tulis. Bahkan selain itu kami membuat buku cerpen di mana kami bisa menuliskan cerpen mengenai imajinasi kami akan sesuatu. Luar biasa memang, kami suka menulis dan saling menanggapi dengan tulus. Tau ga? semua cerita imajinasi yang kami tulis dulu kini sudah jadi banyak cerita FTV loh. Keren kan imajinasi kami kala itu??
3 tahun di SMP dia masih menjadi teman terbaikku. Walau mulai banyak juga teman2 baik lain di antara kami.
SMA kami berbeda. Kami berpisah. Sedih rasanya. Namun ini memang kesalahanku karena nilai akhirku yang tidak mencukupi untuk memasuki SMA favorit itu. Akhirnya aku masuk ke SMA favorit di bawahnya. Ingin sekali melanjutkan BuCur, namun sulit karena kami menjadi sangat jarang bertemu. Untungnya saat itu sudah ada HP, jadi kami bisa berkomunikasi melalui SMS atau sesekali menelpon. Itupun kalau lagi kebanyakan pulsa. Kami masih berteman baik. Masih sering jalan bareng ke mall untuk nonton. Masih sangat tahu kisah hidup kami. Bahkan bisa jadi, dengan saling bercerita saja kami jadi saling mengenal siapa teman2 lainnya di SMA tersebut, padahal ga pernah ketemu.
Masa-masa terbaik dan terburuk mungkin ada di SMA. Kesibukan sekolah sudah merajalela. Kesibukan soal percintaan sudah mulai mengisahkan hidup kami. Dengan siapa kami pacaran, kami saling mengetahui dan memberi masukkan. Tak ayal kami tetap ngeyel dikasih tau, tapi tetap saja dibantu saat salah satu dari kami ada kesulitan.
3 tahun di SMA kami memutuskan bersahabat selamanya. Bestfriend til the end of time.
Memasuki dunia kuliah. Dia mati2an ngejar UI. Aku mati2an ngejar ITB. Tak ada yang diterima. Saat aku sedang ujian ITB, dia menelepon dan berkata bahwa ayahnya telah meniggal dunia. Saat itu aku merasa bersalah karena tak bisa menemaninya saat dia terpuruk dalam kesedihan. Sementara aku tetap memilih berada di Bandung.
Tapi bukan berarti karena hal itu kami bertengkar. Kami masih jadi sahabat. Dialah yang sangat mengetahui bagaimana sifat asliku. Dia sangat mengenalku lebih dari diriku sendiri.
Akhirnya dia kuliah di D3 FE UI. Aku nganggur. Karena orang tuaku ingin sekali aku masuk UI. Harus S1. Tidak boleh mengambil universitas swasta. Tidak boleh D3. Ya, orang tuaku memang UI minded. Jujur saja ITB itu aku kejar seorang diri tanpa dukungan orang tua. Kemudian aku menjadi merasa tertekan. Melihat teman-teman seangkatanku sudah mencicipi indahnya bangku kuliah sementara aku masih saja pergi ke bimbel untuk belajar matematika atau sejarah. Sigh. Tapi dia selalu mendukungku. Dia selalu ada disaat aku butuh. Aku masih dirindukan.
Akhirnya karena menjalani semua pelajaran itu setengah hati, aku tak lolos lagi masuk S1 UI. Aku sangat kalut saat itu. Merasa semua orang memaksaku untuk menjalani sesuatu yang tak kusuka. Aku harus masuk FE karena semua kakakku adalah Sarjana Ekonomi. Sementara aku minat sekali di bidang seni. Aku ingin belajar Design. Tapi tak direstui. Akhirnya aku dipaksa mengambil D3 juga. Di bidang komunikasi. 2 hal yang membuatku gila. Yang pertama adalah aku sudah membuang waktuku setahun dan kini aku mengambil D3, kenapa tak bareng dengan teman2 seangkatanku saja?? kemudian hal kedua adalah bidang komunikasi. Aku ini pemalu dan tak bisa menghadapi orang banyak apalagi harus berbicara depan orang banyak. I was crying in my first class. Tapi Rani selalu mendukungku. Aku terus berusaha. Sampai akhirnya nilai Public Speaking ku A sempurna aku yakin mampu menaklukkan bidang komunikasi ini.
Aku mencari pelarian kesenangan aku. Yaitu musik. Aku ikut Marching Band. Aku jadi gila karenanya. Dunia ini mencuci otakku. Aku menemukan orang-orang yang lebih asik dari bersama Rani. Orang-orang yang jago main musik. Aku dibuat menjadi gila karena musik. Kuhabiskan banyak waktuku di sana. Kebersamaan yang ketergantungan, begitu aku mendeskripsikannya sekarang. Aku jadi jarang bertemu dengan Rani. Karena itu mungkin dia marah padaku. Baru sekali itu dia tak mendukung apa yang kulakukan. Dia tak pernah sekalipun menonton aku bermain marching band. Aku tahu dia marah padaku. Ditambah lagi saat dia wisuda, aku tak menghadirinya. Karena apa? Karena aku sedang latihan Marching Band. Walaupun kini aku sangat menyesalinya, aku tak bisa memperbaikinya. Walau kini aku tak ikut Marching Band lagi, aku tak bisa memutar kembali waktu. Aku salah. Aku merasa sangat bersalah.
Aku marah padanya seingatku baru sekali. Soal kisah cintaku.
"Ran, gw nyesel deh putus sama ***** dulu. Lo ga mau bantuin gw balikan lagi? Kayanya cuma dia yang bisa cocok sama gw."
"Enggak lah. Asal tahu aja ya Mal, dulu abis kalian putus dia juga nyeselll banget dan ngerasa bersalah karena udah mutusin lo. Sampe pingin ngajak balikan lagi. Tapi gw bilang aja ga usah, Amalianya udah suka sama cowo lain. Hehee.."
Itu kejadiannya udah 6 tahun setelah putus. Gila, itu aja yang gw marah banget. Tapi yang gw sadari sekarang adalah hal itu bukan apa-apa dibanding keegoisan gw ninggalin dia demi Marching Band. Gw emang jahat sama lo Ran.
Walau akhirnya kita masih sesekali ketemu, kita masih bisa nyebutnya sebagai Quality Time. Janji namatin ketujuh film Harry Potter di bioskop pun punah karena dalam perjalannya kita punya teman-teman baik lain. But, it's fine. Kita tetap sahabat. Begitu kata Rani.
Kini aku dan Rani sudah sibuk dengan dunia kerja. Terakhir kudengar cerita baik darinya adalah dia berpacaran lagi dengan mantannya waktu SMA. Aku sangat bahagia... Sungguh bahagia. Melihat dia ngepost di social media soal pria itu, bagaimana pria itu membahagiakannya.
Akhirnya Allah membalasku. Aku sulit bertemu Rani. Setiap weekend dia selalu jalan dengan pacarnya dan keluarga pacarnya. Setiap weekdays dia tak bisa dihubungi karena sibuk kerja. Saat aku ingin curhat dengannya dia selalu mengatakan sedang sibuk sekali, tak ada waktu. Saat aku mulai menangis, dia bilang aku jangan cengeng dan harus jadi dewasa. Padahal aku menangis bukan karena merengek seperti anak kecil, tapi aku merindukan pengertian dan kebersamaan dengannya. Saat aku bilang padanya bahwa dia kini terlalu banyak menghabiskan waktu dengan pacarnya, dia berkata:
"Mal, dulu yang lo lakuin pas MB apa? Emang lo punya waktu buat gw? Enggak pernah kan. Sekarang gw baru pacaran berapa bulan lo udah ngomong kaya gini? Gw juga berhak bahagia kali. Kita temenan udah belasan tahun. Boleh dong gw punya kehidupan baru."
Kali itu aku benar-benar menangis. Bahkan menangis lagi ketika mengetik kalimat barusan. Aku memang jahat. Menyisakan dendam yang teramat dalam pada dirinya.
Akhirnya dia mulai menghilang dari hidupku. Tak kontak beberapa bulan. Ulang tahun hanya mengucapkan "Selamat ulang tahun Mal!". Tak ada lagi telepon berdering. Tak ada lagi kabar bahagia yang dia beritahukan padaku sebagai orang pertama, tak ada lagi kabar sedih yang dia ungkapkan, kemudian dia tak hadir untuk silaturahmi saat lebaran, dan di reuni SD dia bahkan mengolok2ku depan teman lainnya dan tidak menggubris kehadiranku. She has no respect of me anymore....
Aku sedih. Ya, aku sedih. ini memang salahku sendiri. Aku terjerumus dalam dunia yang telah merusakku. Merubahku jadi orang yang jahat pada orang yang sangat sayang padaku. Begitupun keluargaku.
Kesedihanku masih suka terasa saat aku sedang merasa sangat bahagia, tapi tak ada Rani yang bisa aku ceritakan seperti masa-masa dulu. Saat aku memberitahukan segala hal pada dirinya. Saat dia selalu jadi orang pertama yang mengetahui apapun. Begitu juga denganku. Bayangan masa kecil kami yang sedang tertawa bersama saat SD, SMP dan SMA terus berputar dalam kepalaku. Dan sekali lagi, air mata ini mengalir....
Banyak sekali hikmah yang kuambil dari kejadian ini. Yang jelas, walaupun aku pernah se salah itu, tapi aku punya hak untuk memperbaikinya. Kini aku sudah hidup jauh lebih baik tanpa hadirnya. Walau kadang kumerindunya, aku hanya bisa mendoakannya. Aku sudah mengikhlaskan kepergiannya. Semua hikmah yang kudapat, sudah aku bungkus dalam satu tekad kuat untuk bertobat di jalan Allah. Kini aku selalu bersyukur dan mendoakannya, saat kulihat senyum di foto yang dia post. Foto dirinya, foto dia dan calon suaminya, foto dia dan keluarganya, foto dia dengan sahabat barunya. :)
Dia pernah menjadi sahabat terbaikku. Rani.
Terima kasih, Ran.